Sunday 27 August 2017

Etika Jurnalistik Dalam Penerapan HAK TOLAK Dan HAK JAWAB




 Berkaitan dengan adanya beberapa kasus pemanggilan wartawan untuk diperiksa oleh lembaga penyidik atau menjadi saksi dalam perkara yang terkait dengan karya jurnalistik, Dewan Pers telah menyampaikan pedoman mengenai ketentuan dan penerapan Hak Tolak, serta Pertanggungjawaban hukum, sebagai berikut:

  1. Wartawan sebagai warga negara yang taat hukum secara prinsip wajib memenuhi panggilan lembaga penyidik untuk diperiksa atau menjadi saksi dalam pengadilan. Wartawan, berdasarkan sifat profesinya, memiliki Hak Tolak, yaitu hak untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan (seperti diatur dalam UU No. 40/1999, tentang Pers). Namun Hak Tolak ini tidak berarti “lembaga pers menolak pemanggilan untuk didengar keterangannya oleh pejabat penyidik”.

  1. Jika wartawan berkeberatan untuk memberikan keterangan, khususnya menyangkut identitas narasumber confidential, maka hal itu dilindungi oleh Pasal 4 ayat (4), UU Pers, yang berbunyi: “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak." Tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan.

  1. Meskipun demikian penerapan hak tolak hendaknya tidak digunakan secara sembarangan. Narasumber yang layak dilindungi identitasnya melalui hak tolak adalah mereka yang memang memiliki kredibilitas, beritikad baik, berkompeten, dan informasi yang disampaikan terkait dengan kepentingan publik. Selain itu, perlu disadari, bahwa pada akhirnya hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan terpisah yang khusus memeriksa soal itu.

  1. Selain diatur dalam UU Pers, dasar hukum hak tolak juga terdapat dalam Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa “mereka yang menjalankan perintah UU tidak dapat dihukum”. Dalam menjalankan tugas jurnalistik pers menjalankan amanat UU Pers, sehingga berkonsekuensi tidak dapat dihukum ketika menggunakan hak tolaknya. Pasal 170 KUHAP yang berbunyi, “Mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.”

  1. Kepada aparat penegak hukum, perlu diingatkan bahwa tugas utama wartawan adalah mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Aparat hukum sedapat mungkin menghindari memanggil wartawan untuk dimintai keterangan atau menjadi saksi, jika informasi yang telah dicetak atau disiarkan di media massa dirasakan bisa menjadi bahan untuk mengusut kasus.

  1. Dalam hal adanya dugaan pelanggaran hukum terhadap karya jurnalistik,   pertanggungjawaban hukum ditujukan kepada “penanggung jawab” institusi pers bersangkutan. Merujuk pada UU Pers, Pasal 12, yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab. Apabila pihak kepolisian menerima pengaduan perkara pidana menyangkut karya jurnalistik, maka menurut UU Pers tidak perlu menyelidiki siapa pelaku utama perbuatan pidana, melainkan langsung meminta pertanggungjawaban dari Penanggung Jawab, sebagai pihak yang harus menghadapi proses hukum.



=======================================================================


PEDOMAN HAK JAWAB


  1. Hak Jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baiknya kepada pers yang memublikasikan.
  2. Hak Jawab berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, dan profesionalitas.
  3. Pers wajib melayani setiap Hak Jawab.
  4. Fungsi Hak Jawab adalah:
    a. Memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat;
    b. Menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers;
    c. Mencegah atau mengurangi  munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers;
    d. Bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers.
  5. Tujuan Hak Jawab untuk:
    a. Memenuhi pemberitaaan atau karya jurnalistik yang adil dan berimbang;
    b. Melaksanakan tanggung jawab pers kepada masyarakat;
    c. Menyelesaikan sengketa pemberitaan pers;
d. Mewujudkan iktikad baik pers.
  1. Hak Jawab berisi sanggahan dan tanggapan dari pihak yang dirugikan.
  2. Hak Jawab diajukan langsung kepada pers yang bersangkutan, dengan tembusan ke Dewan Pers.
  3. Dalam hal kelompok orang, organisasi atau badan hukum, Hak Jawab diajukan oleh pihak yang berwenang dan atau sesuai statuta organisasi, atau badan hukum  bersangkutan.
  4. Pengajuan Hak Jawab dilakukan secara tertulis (termasuk digital) dan ditujukan kepada penanggung jawab pers bersangkutan atau menyampaikan langsung kepada redaksi dengan menunjukkan identitas diri.
10.   Pihak yang mengajukan Hak Jawab wajib memberitahukan informasi yang dianggap merugikan dirinya baik bagian per bagian atau secara keseluruhan dengan data pendukung.
11.   Pelayanan Hak Jawab tidak dikenakan biaya.
12.   Pers dapat menolak isi Hak Jawab jika:
a. Panjang/durasi/jumlah karakter materi Hak Jawab melebihi pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
b. Memuat fakta yang tidak terkait dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
c. Pemuatannya dapat menimbulkan pelanggaran hukum;
d. Bertentangan dengan kepentingan pihak ketiga yang harus dilindungi secara hukum.
13.   Hak Jawab dilakukan secara proporsional:
a. Hak Jawab atas pemberitaan atau karya jurnalistik yang keliru dan tidak akurat dilakukan baik pada bagian per bagian atau secara keseluruhan dari informasi yang dipermasalahkan;
b. Hak Jawab dilayani pada tempat atau program yang sama dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipermasalahkan, kecuali disepakati lain oleh para pihak;
c. Hak Jawab dengan persetujuan para pihak dapat dilayani dalam format ralat, wawancara, profil, features, liputan, talkshow, pesan berjalan, komentar media siber, atau format lain tetapi bukan dalam format iklan;
d. Pelaksanaan Hak Jawab harus dilakukan dalam waktu yang secepatnya, atau pada kesempatan pertama sesuai dengan sifat pers yang bersangkutan;
1) Untuk pers cetak wajib memuat Hak Jawab pada edisi berikutnya atau selambat-lambatnya pada dua edisi sejak Hak Jawab dimaksud diterima redaksi.
2) Untuk pers televisi dan radio wajib memuat Hak Jawab pada program berikutnya.
e. Pemuatan Hak Jawab dilakukan satu kali untuk setiap pemberitaaan;
f. Dalam hal terdapat kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang bersifat menghakimi, fitnah dan atau bohong, pers wajib meminta maaf.
14.   Pers berhak menyunting Hak Jawab sesuai dengan prinsip-prinsip pemberitaan atau karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan.
15.   Tanggung jawab terhadap isi Hak Jawab ada pada penanggung jawab pers yang memublikasikannya.
16.   Hak Jawab tidak berlaku lagi jika setelah 2 (dua) bulan sejak berita atau karya jurnalistik dipublikasikan pihak yang dirugikan tidak mengajukan Hak Jawab, kecuali atas kesepakatan para pihak.
17.   Sengketa mengenai pelaksanaan Hak Jawab diselesaikan oleh Dewan Pers.

Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik Jurnalistik juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

PENYELESAIAN SENGKETA PERS AKIBAT PEMBERITAAN


1.    Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pers
Apabila seseorang merasa telah dicemarkan nama baiknya atau difitnah melalui berita yang ditulis melalui media cetak, bagaimana UU No. 40/1999 tentang Pers menjawab persoalan ini?
Terhadap sebuah karya jurnalistik yang berkaitan dengan berita, pers sepatutnya memenuhi kaidah-kaidah yang sudah ditentukan dalam UU No. 40/1999, khususnya Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan:
Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Sedangkan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) menyatakan:
Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
            Rambu-rambu inilah yang semestinya tidak dilanggar oleh pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
            Namun demikian harus diakui bahwa rumusan Pasal 5 ayat (1) beserta Penjelasannya ini kurang lengkap dan kurang jelas, dalam arti tidak secara rinci dan tegas menyebutkan ketentuan dan syarat-syarat yang tergolong melanggar Pasal 5 ayat (1)- hal seperti inilah yang dianggap membedakannya dengan Pasal-pasal dalam KUHP. Bagi insan pers, boleh jadi Pasal 5 ayat (1) ini dianggap cukup jelas, namun tidak demikian halnya bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, masing-masing pihak dapat menginterpretasikan muatan Pasal ini secara bebas. Dan akibat dari kekurangtegasan pasal ini, tak salah pula kalau sebagian masyarakat lebih memilih menggunakan pasal-pasal KUHP untuk menjerat pers, kendati pula ada sebagian masyarakat lainnya yang masih menghormati UU Pers dengan lebih memilih penyelesaiannya melalui UU No. 40/1999 tentang Pers.
Kembali pada persoalan diatas, andaikata seseorang telah merasa tercemar nama baiknya, atau merasa dirinya telah difitnah melalui pemberitaan media massa (cetak), menurut UU Pers dapat ditafsirkan bahwa pers tersebut telah menyalahi atau melanggar Pasal 5 ayat (1). Selanjutnya, pihak yang merasa dirugikan dapat menggunakan Hak Jawab [Pasal 5 ayat (2)] dan Hak Koreksi [Pasal 5 ayat (3)] yang wajib dipenuhi oleh pers atau pers memiliki kewajiban koreksi seperti ditentukan dalam Pasal 1. Dengan kata lain, UU Pers telah mempertegas pers untuk memiliki sikap yang bertanggungjawab.
Perlu dijelaskan di sini bahwa UU Pers telah mengakomodasi beberapa bentuk hak yang bersentuhan langsung dengan pers, yaitu:
a.       Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
b.       Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitahuan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
c.       Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Kewajiban koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data fakta, opini atau gambar yang tidak benar telah diberitakan oleh pers.
Hak Tolak adalah hak wartawan untuk melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Sebab, adakalanya wartawan terikat pada kesepakatan dengan narasumber yang meminta off the record atau menolak identitasnya disebutkan sebagai sumber berita dalam memberikan informasi kepada pers. Hak tolak tersebut dapat digunakan jika wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan. Pasal 4 ayat (4) UU No. 40/1999 menegaskan: “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.”
Selain Pasal 4 ayat (4) UU Pers, landasan yuridis hak tolak juga telah ditetapkan dalam Pasal 170 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang menegaskan:
Mereka yang karena pekerjaan, harkat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
Ketentuan ini berkaitan pula dengan Pasal 322 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda….”
Hak Jawab adalah hak seseorang atau kelompok masyarakat untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap karya jurnalistik menyangkut fakta (pemberitaan) yang bersifat sepihak dan tidak akurat sehingga merugikan nama baiknya.
Hak jawab biasanya digunakan untuk kasus kekurangan atau kelemahan berita yang tidak terlalu fatal dampaknya, seperti kelengkapan fakta, tambahan penjelasan, melengkapi berita sepihak atau mempersoalkan akurasi. Dengan menanggapi, meluruskan, atau melengkapi informasi dan opini berita yang tidak akurat, diharapkan berita yang bersangkutan menjadi seimbang.
Hak Jawab sebetulnya termasuk dalam wilayah kode etik, bukan wilayah hukum, dan lazimnya redaksi media wajib menyediakan ruang untuk Hak Jawab, meskipun sifatnya prerogative redaksi. Pelayanan hak jawab biasanya ditempatkan pada rubric surat pembaca. Jika hak jawab itu proporsional panjangnya dan ditulis dengan bahasa yang cukup baik, sebaiknya dimuat secara utuh. Dalam kasus yang fatal, karena kelalaian media yang memang merugikan seseorang, Hak Jawab bisa dimuat pada halaman di mana berita sebelumnya dimuat.
Oleh sebab itu, dalam hal adanya pihak yang merasa dirugikan terhadap karya jurnalistik (pemberitaan), tentunya dapat menggunakan serangkaian hak-hak yang sudah diberikan oleh UU Pers tersebut. Sedangkan pers wajib mematuhi penggunaan hak-hak tersebut (Hak Jawab dan Hak Koreksi) yang diberikan oleh undang-undang kepada masyarakat yang bersentuhan langsung dengan isi pemberitaan pers.
Memang, dalam hal penggunaan Hak Jawab, adakalanya masyarakat merasa penempatannya di media tidak memiliki proporsi yang sama atau tidak berimbang, dalam arti terkadang pihak pers hanya meletakkan Hak Jawab dalam rubric surat pembaca padahal berita sebelumnya yang dianggap telah merugikan itu ditulis dalam kolom yang besar. Oleh karena itu, menyangkut kesalahan pers yang terlalu besar, terkadang pihak yang merasa dirugikan terlebih dahulu memberikan somasi (peringatan, teguran) dan selanjutnya dapat bernegosiasi mengenai hal peletakan kolom untuk bantahan atau Hak Jawab.
Seperti telah disinggung di atas, Hak Jawab merupakan ketentuan kode etik. Hal ini tercantum dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan oleh Dewan Pers, di mana pada butir ke-7 disebutkan tentang pemenuhan Hak Jawab, yaitu “Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak jawab.” Penafsirannya, “Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat pemberitaan dan penyiaran yang keliru dan tidak akurat dengan disertai permintaan maaf. Ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang salah atau tidak akurat. Dalam hal pemberitaan yang merugikan seseorang atau kelompok, pihak yang dirugikan harus memberikan kesempatan untuk melakukan klarifikasi.”
Namun demikian, oleh pembuat UU rupanya Hak Jawab telah diangkat menjadi ketentuan hukum positif dalam UU No. 40/1999 tentang Pers. Oleh sebab itu, sekalipun Hak Jawab sudah dilaksanakan oleh pers dan secara etika sebetulnya persoalan telah dianggap selesai, tidak tertutup kemungkinan bahwa pihak yang merasa dirugikan melanjutkan persoalannya ke pengadilan, mengingat UU pers ini tidak melarang hal ini. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan di dalam UU Pers yang menegaskan bahwa apabila hak Jawab sudah dilaksanakan, tidak boleh lagi mengajukan tuntutan ke pengadilan.
Sekalipun demikian, pengadilan pernah memutus perkara yang mengakui eksistensi Hak Jawab sehingga dapat diangkat menjadi yurisprudensi. Putusan pengadilan tersebut berdasarkan perkara harian Garuda, Medan, yang digugat oleh PT Anugerah karena berita yang ditulis oleh media tersebut dianggap telah memenuhi unsure perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 KUHPer, dengan tuntutan ganti rugi Rp 5 miliar. Kasus ini muncul setelah harian Garuda dalam berita edisi 14 November 1989 berjudul “Buat Masalah” antara lain menuliskan: “PT Anugerah dalam operasinya melakukan penyimpangan yang merugikan rakyat, pengurusan-pemindahan gedung sekolah-SMA-Stasiun Kereta Api, dan kini merambah pula ke Langkat……. Masyarakat mengirim delegasi ke DPRD Sumatera Utara mengenai penggusuran tanahnya…..”
Atas perkara No. 3173.K/Pdt/1991 tersebut, Pengadilan Negeri Medan menghukum harian Garuda membayar ganti rugi Rp 50 juta. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi. Namun, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung yang mengeluarkan putusan bertanggal 28 April 1993 telah membatalkan putusan judex facti (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) dan menolak gugatan Penggugat seluruhnya.
 Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung, antara lain dikatakan:
Apabila berita harian Garuda tersebut tidak benar, maka penggugat dapat menggunakan “Hak Jawab”. Namun ternyata hak itu tidak dipergunakan oleh penggugat tersebut, dan ini dapat disimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh tergugat dalam harian Garuda adalah mengandung kebenaran atau paling tidak mengandung nilai estimasi.
Dalam pertimbangan hukum lainnya, juga disebutkan, “Perlunya terlebih dahulu pelaksanaan ‘Hak Jawab’ apabila sebuah berita dianggap merugikan.”
Dengan adanya yurisprudensi Mahkamah Agung ini, kedudukan Hak Jawab dimata hukum menjadi sangat penting dan diakui keberadaannya.  Maka, sebelum mengajukan gugatan atau tuntutan ke pengadilan akibat sebuah pemberitaan, masyarakat sebaiknya melaksanakan terlebih dahulu ketentuan Hak Jawab.
Namun, sebaliknya, bagaimana jika pihak pers tidak mau memenuhi Hak Jawab? Apabila pihak pers tidak menaati ketentuan penggunaan Hak Jawab, dalam arti pers tidak mau menjalankan perintah yang telah diwajibkan dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Pers, pers dapat dituntut ke pengadilan dengan ancaman terkena sanksi Pasal 18 UU Pers, yaitu pidana denda sebesar Rp 500 juta.
Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang harus mempertanggung -jawabkannya di pihak pers? Seperti telah disinggung sebelumnya, berita adalah produk media hasil kerja hasil kerja tim redaksi (hasil kerja kolektif). Oleh karenanya, yang bertanggung jawab terhadap materi berita adalah redaksi media tersebut, yang dalam Pasal 12 UU Pers dipresentasikan atau diwakilkan oleh Pemimpin Redaksi, termasuk apabila muncul tuntutan hukum.


*****************************




Penyelesaian melalui Dewan Pers
Mekanisme lain yang dapat ditempuh oleh masyarakat atau pihak yang merasa telah dirugikan oleh pemberitaan media cetak-selain penyelesaian secara langsung dengan pers yang bersangkutan-adalah mengajukan permasalahannya kepada Dewan Pers. UU Pers, khususnya Pasal 15 ayat (2), telah secara tegas dan khusus memberikan tujuh fungsi sekaligus kepada Dewan Pers:
            Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a.     Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b.     Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c.     Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d.     Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e.     Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f.        Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g.     Mendata perusahaan pers.
Dewan Pers ini merupakan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap penegakan etika pers, sedangkan sanksi pelanggarannya menjadi tanggung jawab perusahaan atau organisasi pers. Karena itu, Dewan Pers tidak bekerja pada ranah hukum. Tugas Dewan Pers adalah menjadi mediator antara masyarakat dan pers serta fasilitator untuk  meningkatkan kualitas kemerdekaan pers.
Dewan Pers akan menguji dan mengkaji pengaduan yang terkait dengan pemberitaan atau karya jurnalistik untuk kemudia memberikan penilaian mengenai kualitas berita (karya jurnalistik ) tersebut. Jika diperlukan, Dewan Pers mengundang redaksi media bersangkutan untuk menjawab atau membela diri. Selanjutnya akan dinilai apakah berita yang dimaksud telah melanggar etika, atau tidak professional, atau sekedar tidak akurat. Dalam dunia jurnalisme professional, dikenal istilah absence of malice (tidak ada niat jahat). Jadi, penanganan dalam pelanggaran etika yang dilakukan pada jurnalisme professional ditujukan untuk mencari solusi perbaikan atas kelalaian dan kesalahan praktik jurnalistik. Rumusan solusi atas pelanggaran etika mencakup: ralat atau koreksi, hak jawab, atau permintaan maaf secara terbuka.
Bagaimana bila pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan pers tergolong berat? Dalam hal ini, Dewan Pers dapat memberikan penilaian dan mengeluarkan rekomendasi berupa teguran, peringatan keras, atau sanksi moral. Bahkan dapat merekomendasikan agar media yang bersangkutan melakukan permohonan maaf secara terbuka ditambah dengan pemuatan hak jawab atau penulisan ulang (sesuai permohonan dari si pelapor atau pihak yang mengadukan). Upaya seperti inilah yang pernah dilakukan oleh Laksamana Sukardi ketika berhadapan dengan media cetak. Ia membawa perkara ini ke Dewan Pers dan tidak memilih jalan ke pengadilan.
Mandat yang diberikan kepada Dewan Pers adalah sepanjang pelanggaran etika pers (bukan lingkup pelanggaran hukum). Namun demikian, pelanggaran etika atau kode etik juga dapat diasumsikan sebagai kesalahan yang diakibatkan oleh kelalaian, bukan karena (niat) kesengajaan.
Namun, bila Dewan Pers melihat bukti kuat bahwa ada unsur kesengajaan, misalnya untuk memfitnah, mencemarkan nama baik, atau menyebarkan kabar bohong, pihak yang merasa dirugikan bisa saja menggugatnya ke pengadilan. Dalam hal ini, Dewan Pers tidak akan turut campur karena pelanggaran semacam ini telah masuk dalam lingkup hukum. Sekalipun demikian, hal ini tetap berpulang sepenuhnya kepada pihak yang merasa dirugikan: apakah mau menggugat atau menuntutnya ke pengadilan atau diselesaikan melalui Dewan Pers.
Dewan Pers hanya berperan sebagai mediator antara public dan pers untuk mencari solusi terhadap pelanggaran etika pers. Sedangkan sanksi bagi wartawan yang melanggar standar profesi dan kode etik jurnalistik merupakan wewenang perusahaan pers yang memperkerjakannya dan organisasi wartawan tersebut untuk memberikan sanksi kepada wartawan yang terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik, berupa teguran keras, skorsing, atau pemecatan.
Menurut insan pers, mengakui kesalahan dengan mengeluarkan pernyataan permohonan maaf secara terbuka kepada pihak yang telah merasa dirugikan sesungguhnya sudah merupakan hukuman yang berat, bahkan sangat berat. Sebab, hal ini menandakan tidak akuratnya berita atau karya jurnalistik  yang disajikan kepada pembacanya. Dan jika hal ini berulang kali dilakukan oleh pers, kredibilitas pemberitaannya dan citra profesionalitas wartawan (pengelola) media cetak tersebut ditinggal alri oleh pembacanya, dan ujung-ujungnya dapat membangkrutkan perusahaan itu sendiri.
Oleh karena itu, sengketa pers sebagai akibat pemberitaan yang diselesaikan dengan UU Pers melalui jalur Dewan Pers, sebetulnya dapat dijadikan pemelajaran, bahkan acuan bagi masyarakat. Sudah banyak contoh kasus pers yang penyelesaiannya memilih menggunakan UU Pers. Salah satu contohnya adalah kasus Laksamana Sukardi versus beberapa media massa yang akan digambarkan dibawah ini.

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP PERS

Persoalan yang muncul akibat adanya dualism hukum dalam menangani kasus pers, yakni antara penerapan UU No. 40/1999 tentang Pers dan KUHP, merupakan masalah pertanggungjawaban hukum. Pasalnya, aspek yuridis pertanggungjawaban hukum yang sudah ditegaskan dalam UU Pers jauh berbeda dengan pertanggungjawaban hukum yang dikenal dalam KUHP.

Akibatnya subjek hukum atau pelaku (insane pers) yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya berdasarkan UU Pers dan KUHP memiliki perbedaan yang mendasar. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang pertanggungjawaban hukum terhadap pers, tampaknya perlu dipahami terlebih dahulu lingkup kerja jurnalistik agar kita mendapatkan gambaran yang utuh dan jelas sebelum menentukan: pertanggungjawaban mana yang seharusnya digunakan, berdasarkan UU Pers ataukah KUHP?

Sebuah karya jurnalistik yang terbuat di media cetak merupakan hasil kerja kolektif.
Seorang reporter atau wartawan di lapangan dapat membuat berita apa saja. Namun yang menentukan dapat-tidaknya dan layak-tidaknya berita itu dimuat atau dipublikasikan di medianya tidak ditentukan oleh reporter (wartawan) yang bersangkutan, melainkan melalui lembaga rapat (mekanisme rapat redaksi).
Dari hasil rapat redaksi wartawan tersebut mengejar berita, dan setelah ditulis oleh wartawan yang bersangkutan, berita itu akan disunting (diedit) oleh redakturnya dan ditetapkan, apakah layak muat atau tidak. Adakalanya tulisan yang sudah melewati proses editing itu kemudian dibaca lagi oleh Pemimpin Redaksinya, tetapi pada umumnya tidak dikoreksi lagi olehnya, karena ia percaya kepada Redaktur Pelaksana (Redpel) yang merupakan atasan dari redaktur yang menjalankan operasional sehari-hari.
Dengan demikian, lahirnya sebuah berita di media cetak melewati proses reportase, penulisan, editing, dan pemuatannya yang terlebih dahulu disetujui oleh rapat redaksi. Lalu, dengan mekanisme kerja seperti ini, bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum jika terjadi kasus hukum berkaitan dengan pemberitaan?


1.     Tanggung Jawab Hukum menurut UU Pers

Berangkat dari mekanisme kerja atau “aturan main” di pers seperti telah digambarkan di atas, UU No. 40/1999 tentang Pers, khususnya Pasal 12 beserta penjelasannya, menganut prinsip “pertanggungjawaban fiktif” atau disebut juga Stair System (sistem bertangga).
           
Dengan sistem pertanggungjawaban fiktif ini, jika terjadi penuntutan hukum, yang bertanggung jawab terhadap materi berita adalah redaksi media yang dalam hal ini umumnya diwakili oleh Pemimpin Redaksi (pemred).

Dengan demikian pertanggungjawaban yang dipikul oleh Pemimpin Redaksi atau pejabat yang ditunjuk sebagai penanggung jawab di media adalah “fiktif” karena yang melakukan perbuatan (delik) bukanlah Pemred, melainkan orang lain (wartawan), tetapi ia harus bertanggung jawab. Dengan kata lain, orang yang diajukan ke pengadilan (terutama pidana) belum tentu orang yang langsung melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Karena Pasal 12 UU Pers telah menegaskan siapa yang harus bertanggung jawab (umumnya Pemred atau Pemimpin Umum), pejabat itulah yang “mewakili” dalam menghadapi tuntutan.

Ditegaskan dalam Pasal 12 j. no. 18 ayat (2) UU No. 40/1999 bahwa:
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat,dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.

Sedangkan Penjelasan Pasal 12 mengatakan:
Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara:
a.     Media cetak memuat kolom nama, alamat dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan;
b.     Media elektronik menyiarkan nama, alamat dan penanggung jawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik;
c.     Media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan.

Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan.
Yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bisnis redaksi.
Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, Pasal 18 ayat (3) menyebutkan: perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan UU Pers ini mempunyai implikasi atau konsekuensi hukum bahwa wartawan bisa bebas dari posisi sebagai terdakwa, sehingga ketentuan Pasal 55-56 KUHP (tentang penyertaan dalam perbuatan pidana) tidak berlaku.

2.    Tanggung Jawab Hukum menurut KUHP
Bertolak belakang dengan pertanggungjawaban hukum menurut UU Pers, dalam hukum pidana dikenal pertanggungjawaban individual atau pribadi. Hukum pidana mengenal asas hukum bahwa: “siapa yang berbuat, maka dia yang harus bertanggung jawab”. Dengan demikian, asas hukum pidana mengenal pertanggungjawaban secara langsung yang tidak dapat dialihkan. Siapa yang melakukan tindak pidana, dialah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
            Sedangkan soal kadar keterlibatan seseorang dalam tindak pidana telah dijabarkan dalam pasal 55 dan 56 KUHP. Berdasarkan kedua pasal inilah, penyidik melakukan penyelidikan untuk menetapkan siapa yang menjadi pelaku utama suatu tindak pidana.
Pasal 55 ayat (1): Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
Ke-1: mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turun serta melakukan perbuatan;
Ke-2: mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Ayat (2): terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Jadi, menurut Pasal55 KUHP, dalam suatu tindak pidana dikenal empat jenis pelaku, yaitu:
1.      Pelaku (dader): berarti orang yang melakukan sendiri (pelaku utama);
2.      Pelaku yang menyuruh melakukan (doenplagen): berarti ada lebih dari seorang yang melakukan tindak pidana;
3.      Pelaku yang turut melakukan (medeplegen): berarti pelaku turut bersama-sama dengan orang lain melakukan tindak pidana;
4.      Pelaku yang membujuk untuk melakukan tindak pidana (uitlokken): berarti ia membujuk untuk menyuruh melakukan tindak pidana dengan upaya pembujukan, dapat berupa uang, hadiah, jabatan, dan sebagainya.
Sedangkan mereka yang membantu orang lain melakukan tindak pidana ditentukan dalam pasal 56 KUHP sebagai berikut:
Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan:
Ke-1: mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Ke-2: mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan kedua Pasal tersebut, jika ada pers yang dituntut karena melakukan tindak pidana seperti dituduhkan dalam pasal-pasal KUHP, subyek hukum atau yang tergolong pelaku (termasuk membantu melakukan) semestinya adalah:
1.      Wartawan, yang telah membuat atau menulis berita;
2.      Redaktur, yang mengedit naskah dan menentukan turunnya naskah
3.      Lembaga Sidang Redaksi, dalam arti orang yang ikut bersidang atau rapat redaksi ketika bersepakat menentukan turunnya tulisan tersebut;
4.      Redaktur Pelaksana, yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap operasional sehari-hari termasuk pula persetujuan penurunan berita;
5.      Pemimpin Redaksi, sebagai penanggung jawab redaksi yang adakalanya ia sudah membaca tulisan berita tersebut dan menyetujuinya untuk dimuat, akan tetapi adakalanya tidak membacanya karena sudah diserahkan sepenuhnya kepada bawahannya di jajaran redaksi;
6.       Penerbit, yaitu badan usaha yang menerbitkan media yang di dalamnya mengandung tulisan yang tergolong tindak pidana;
7.      Percetakan, yaitu pihak yang membantu melakukan percetakan hal yang di dalamnya mengandung tulisan yang tergolong tindak pidana dan memperbanyaknya;
8.      Sirkulasi atau distribusi, yaitu pihak yang membantu mengirim dan menyebarkan medianya yang di dalamnya terdapat berita yang tergolong tindak pidana;
9.      Agen Koran/majalah, karena membantu mengedarkan tulisan yang tergolong tindak pidana;
10. Pengecer Koran/majalah, toko-toko, karena membantu mengedarkan ke masyarakat.

Ada segitu banyak pihak atau pelaku yang sebetulnya dapat dikenakan sanksi pidana jika pasal-pasal KUHP digunakan secara konsisten dalam kasus pers. Adilkah?
            Memang , dalam praktiknya, penghukuman bagi pelaku tindak pidana pers tidak sebanyak yang disebutkan itu. Sebab, pada umumnya, hanya wartawan yang menulis atau Pemimpin Redaksi-nya yang dimintai pertanggungjawaban. Namun seandainya yang dituntut pidana hanya wartawannya, apakah juga adil, mengingat ia hanya menuliskannya dan tulisan tersebut tidak mungkin dapat termuat apabila tidak melewati sidang atau rapat redaksi dan apabila tidak ada persetujuan (penyuntingan) redakturnya? Sedangkan jika redaktur saja yang dituntut, hal ini juga kurang memenuhi rasa keadilan. Sebab, redaktur hanya menjalankan tugas dari apa yang telah diputuskan oleh rapat redaksi, dan ia hanya menerima bahan baku berita dari hasil pencarian wartawan di lapangan, yang kemudian diolahnya (dimasak) untuk kemudian menjadi berita yang layak dimuat. Lalu, bagaimana dengan bagian artistic, yang telah me-lay-out tulisan itu sehingga jika tidak ada yang melakukan kerja ini tidak mungkin naik kepercetakan? Bagaimana dengan orang-orang yang ikut rapat sidang redaksi? Bagaimana Pemimpin Redaksi-nya? Di atas pemimpin redaksi masih ada pemimpin Umum yang bertanggung jawab terhadap redaksi dan bisnis. Semua itu perlu digambarkan mengingat mekanisme kerja di pers bersifat kolektif, sementara hukum pidana hanya mengenal subjek hukum individual yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan jika pihak pers menilai penggunaan pasal-pasal KUHP untuk perkara hukum pers terlalu dipaksakan sebagaimana sering terjadi dalam praktik di pengadilan. Padahal adagium hukum yang ditujukan kepada hakim sudah jelas menyebutkan, “lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.” Nah, penanganan kasus hukum pers melalui KUHP membuat adagium ini menjadi kacau. Akibatnya, pengadilan pidana bisa saja menghukum wartawan padahal bukan si wartawanlah yang sebetulnya melakukan tindak pidana.




















3.    Menjerat Pers dengan KUH Perdata (KUHPer)
Sebuah pemberitaan yang dianggap bersifat provokatif dan tendensius, dan menyiarkan informasi yang bersifat dusta dan fitnah serta menjadikan medianya sebagai sarana untuk menyebar luaskan pemberitaan/informasi yang bersifat mendiskreditkan seseorang, dapat pula dijerat dengan hukum perdata berdasarkan KUHPerdata dengan dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu, karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Pers dapat dikategorikan melanggar pasal perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) jika:
1.      Bertentangan dengan kewajiban hukum.
2.      Melanggar hak subjektif, dalam hal ini hak-hak pribadi (hak atas integritas pribadi, kehormatan, serta nama baik).
3.      Melanggar kaidah tata susila.
4.      Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesame warga masyarakat.
Sanksi yang dapat diberikan kepada pers akibat perbuatan melanggar hukum tersebut adalah ganti rugi, baik ganti rugi secara moril maupun secara materiil. Kerugian materiil berkaitan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan terhadap dampak pemberitaan tersebut. Sedangkan kerugian moril berupa telah tercemarnya nama baik, atau dengan kata lain dapat merugiakn seseorang secara immaterial.



4. Menjerat Pers dengan UU Pers
Persoalan mendasar yang bisa jadi dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat yang menghadapi kasus hokum pers adalah bahwa apabila UU No. 40/1999 tentang pers diterapkan dalam kasusnya, tidak akan ada sanksi pidana di dalamnya.
            Tentu saja pendapat ini kurang tepat. Sebab, UU pers mengenal pertanggungjawaban pidana, yaitu dalam hal:
·         Pers tidak memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah [pasal 5 ayat (1)];
·         Pers tidak melayani Hak jawab [Pasal 5 ayat (2)];
·         Pers melanggar pemuatan iklan seperti ditegaskan Pasal 13;
·         Pers tidak berbadan hokum [Pasal 9 ayat (2)];
·         Pers tidak mengumumkan nama, alamat dan penanggungjawab ditambah nama dan alamat percetakan (Pasal 12).

Untuk itu, UU Pers telah mengakomodasi sanksi pidana sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (2) yang menyatakan:
“perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.”  Dan Pasal 18 Ayat (3) juga menegaskan: “perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.”

Sebetulnya ketentuan ini juga dirasakan sudah cukup berat bagi pers, apalagi bagi perusahaan pers berskala kecil; pidana denda sebesar Rp 500 juta, misalnya, sudah pasti langsung mematikan kehidupannya. Namun demikian, pihak pers merasa ketentuan ini pun sangat tidak adil, terutama dalam soal tidak memenuhi “Hak Jawab”.

Pasalnya apabila Hak Jawab sudah diberikan oleh pers, semestinya ada pula ketentuan yang menegaskan bahwa telah tertutup kemungkinan untuk mengajukan persoalan yang sama ke pengadilan. Namun, ketentuan seperti itu tidak ada, sehingga bukan tidak mungkin pihak yang sudah diberikan Hak Jawab-nya oleh pers, kemudian tetap melanjutkan perkaranya ke pengadilan.

Selain itu, ketentuan lain yang juga dianggap oleh masyarakat tidak jelas kriterianya berkaitan dengan tindakan pers seperti apa saja yang dicakup oleh Pasal 5 ayat (1) dalam UU Pers. Hal ini sudah disinggung dan dijelaskan di bagian awal bab ini.

Dengan demikian, jika timbul pertanyaan bagaimana hokum menjawab rasa keadilan masyarakat yang terkena dampak pemberitaan pers yang tidak benar? Apakah cukup adil dengan hanya memberlakukan UU Pers? Jawabannya tentu berpulang pada mekanisme hokum yang mengaturnya, dalam hal ini UU Pers.
            Misalnya, jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers yang tergolong berita bohong, ia dapat menggugat pers berdasarkan Pasal 18 ayat (2) khususnya dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) beserta Penjelasannya dengan dianalogikan secara luas. Jika memang terbukti menyebarkan berita bohong, pers itu dapat dikenakan denda Rp 500 juta oleh pengadilan dan harus memulihkan nama baik pihak yang dirugikan, melalui Hak jawab atau pernyataan maaf. Hanya saja tidak semua pihak sependapat bahwa Pasal 5 ayat (1) beserta Penjelasannya juga mencakup soal berita bohong di dalamnya.


14. PROSEDUR PENGADUAN KE DEWAN PERS



Selain untuk melindungi kemerdekaan pers, Dewan Pers juga berfungsi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Untuk itu Dewan Pers telah menyusun prosedur pengaduan menyangkut delik  pers sebagai berikut:

-     Dewan Pers menerima pengaduan masyarakat menyangkut pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik atau kasus-kasus pemberitaan pers lainnya. Namun Dewan Pers tidak memeriksa pengaduan yang sudah diajukan ke polisi atau pengadilan.
-     Pengaduan dapat dilakukan secara tertulis atau datang ke Dewan Pers.
-     Pengadu wajib mencantumkan nama dan alamat lengkap (nomor telepon, faksimil, email jika ada). Dan Pengaduan ditujukan kepada Dewan Pers, alamat Gedung Dewan Pers Lantai VII, Jalan Kebon Sirih No. 32-34, Jakarta 10110. Telepon: 021-3521488, faksimil: 021-3452030, Email: dewanpers@cbn.net.id.

-     Pihak yang diadukan adalah penanggung jawab media. Dan Pengadu mengajukan keberatan terhadap berita yang dianggap merugikan dirinya, lembaganya atau masyarakat.

-     Pengaduan terhadap media cetak, lembaga penyiaran, dan media internet menyebutkan nama media, tanggal edisi penerbitan/ publikasi dan judul tulisan/program siaran, deskripsi foto dan ilustrasi yang dipersoalkan dengan melampirkan dokumen atau data pendukung.


-     Pengaduan dapat disampaikan untuk materi jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan selama-lamanya 2 (dua) bulan sebelumnya, kecuali untuk kasus khusus yang menyangkut kepentingan umum. Dan Pengadu sedapat mungkin berhubungan langsung dengan Dewan Pers. Kehadiran kuasa pengadu dapat diterima jika dilengkapi surat kuasa yang sah.

-     Pengaduan gugur apabila pengadu tidak memenuhi dua kali panggilan Dewan Pers. Pengaduan tersebut tidak dapat diajukan kembali. Namun Jika pihak yang diadukan sudah dua kali dipanggil tidak datang, Dewan Pers tetap memproses pemeriksaan.

-     Setelah menerima pengaduan, Dewan Pers mengadakan rapat untuk membahas pengaduan. Dalam menangani pengaduan, Dewan Pers dapat memanggil dan memeriksa pengadu dan yang diadukan.
-     Dewan Pers dapat menyelesaikan pengaduan tertentu melalui surat-menyurat. Dalam menangani pengaduan, Dewan Pers dapat meminta pendapat pakar.

-     Dewan Pers mengupayakan penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat yang dituangkan dalam pernyataan perdamaian. Dan Jika musyawarah tidak mencapai mufakat, Dewan Pers tetap melanjutkan proses pemeriksaan untuk mengambil keputusan.

-     Keputusan Dewan Pers berupa Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) ditetapkan melalui Rapat Pleno. Pemberitahuan Keputusan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi dari Dewan Pers disampaikan kepada para pihak yang bersengketa dan bersifat terbuka.

-     Perusahaan pers yang diadukan wajib melaksanakan dan memuat atau menyiarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers di media bersangkutan. Jika Perusahaan Pers tidak mematuhi Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi, Dewan Pers akan mengeluarkan pernyataan terbuka khusus untuk itu.

STANDAR KOPETENSI WARTAWAN (SKW)


1.    PENGERTIAN

Standar adalah patokan baku yang  menjadi pegangan ukuran dan dasar.  Standar juga berarti model bagi karakter unggulan.

Kompetensi adalah kemampuan tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

Wartawan adalah orang yang  secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan  menyampaikan     informasi          baik   dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan          segala jenis saluran lainnya.

Kompetensi wartawan adalah kemampuan wartawan untuk memahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.

Standar kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek          pengetahuan, keterampilan/ keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan.


2. JENJANG KOMPETENSI WARTAWAN

1. Jenjang Kompetensi Wartawan Muda
2. Jenjang Kompetensi Wartawan Madya
3. Jenjang Kompetensi Wartawan Utama

Masing-masing     jenjang        dituntut      memiliki      kompetensi kunci terdiri atas:

1. Kompetensi Wartawan Muda: Melakukan kegiatan, yakni meliputi ;
a. Mengusulkan dan merencanakan liputan.
b. Menerima dan melaksanakan penugasan.
c. Mencari bahan  liputan, termasuk informasi dan referensi 
d. Melaksanakan  wawancara.
e. Mengolah          hasil liputan dan menghasilkan karya jurnalistik.
f. Mendokumentasikan hasil liputan dan membangun basis data pribadi.
g. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.

2. Kompetensi Wartawan Madya: mengelola kegiatan, yakni meliputi ;
a. Menyunting karya jurnalistik wartawan.
b. Mengkompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik.
c. Memublikasikan berita layak siar.
d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi.
e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan          berkedalaman (indepth reporting).        
f. Merencanakan,  mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi (investigative reporting).                 
g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi di bidangnya.
h. Melakukan evaluasi pemberitaan  di bidangnya.      
i. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.
j. Memiliki jiwa kepemimpinan.

3. Kompetensi Wartawan Utama: mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan yang meliputi kegiatan :
a. Menyunting karya jurnalistik wartawan.
b. Mengompilasi   bahan liputan menjadi karya jurnalistik.
c. Mempublikasikan berita layak siar.
d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi.
e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan          berkedalaman (indepth    reporting).  


SIAPA YANG BERHAK IKUT UJIAN KOMPETENSI ?
1.   Peserta        yang  dapat menjalani    uji     kompetensi adalah wartawan.
2.   Wartawan   yang  belum berhasil dalam uji kompetensi dapat mengulang         pada          kesempatan ujian berikutnya  di lembaga-lembaga penguji kompetensi.
3.   Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan muda sekurang-kurangnya tiga tahun, yang bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi wartawan madya.
4.   Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan madya sekurang-kurangnya   dua tahun,        yang  bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi wartawan utama.
5.   Sertifikat kompetensi berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas jurnalistik.
6.   Wartawan pemegang sertifikat kompetensi yang tidak menjalankan tugas jurnalistik minimal selama dua tahun berturut-turut, jika akan kembali menjalankan tugas jurnalistik, diakui berada di jenjang kompetensi terakhir. 
7.   Hasil  uji kompetensi ialah kompeten atau belum kompeten.







PEMIMPIN REDAKSI
Pemimpin redaksi menempati posisi strategis dalam perusahaan pers dan dapat          memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat profesionalitas pers. Oleh karena itu, pemimpin redaksi haruslah yang telah berada dalam jenjang kompetensi wartawan utama dan memiliki pengalaman yang memadai. Kendati demikian, tidak boleh ada ketentuan yang bersifat diskriminatif dan        melawan pertumbuhan alamiah yang menghalangi seseorang menjadi pemimpin         redaksi. Wartawan yang dapat menjadi pemimpin redaksi      ialah          mereka yang telah memiliki kompetensi wartawan utama dan pengalaman        kerja          sebagai wartawan minimal 5 (lima) tahun.
         
PENANGGUNG JAWAB
Sesuai denganUU Pers,  yang  dimaksud    dengan penanggung jawab adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam posisi itu penanggung jawab dianggap bertanggung jawab terhadap keseluruhan   proses dan hasil produksi serta konsekuensi hukum perusahaannya. Oleh     karena itu, penanggung jawab harus memiliki pengalaman dan kompetensi wartawan          setara dengan pemimpin redaksi.
         
TOKOH PERS
Tokoh-tokoh pers nasional yang reputasi   dan    karyanya sudah diakui oleh masyarakat          pers   dan telah berusia 50 tahun saat standar kompetensi    wartawan ini diberlakukan dapat ditetapkan telah memiliki kompetensi        wartawan.   Penetapan   ini dilakukan oleh Dewan Pers.



Selambat-lambatnya dua tahun sejak diberlakukannya Standar Kompetensi Wartawan       ini,          perusahaan pers dan organisasi wartawan yang telah dinyatakan lulus verifikasi oleh Dewan Pers sebagai lembaga   penguji Standar Kompetensi Wartawan harus menentukan jenjang kompetensi para wartawan di perusahaan atau         organisasinya.


PERATURAN DEWAN PERS Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 Tentang STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN ditetapkan pada tanggal 2 Februari 2010.


1 comment:

  1. Okay then...

    This may sound really weird, and maybe even kind of "out there"....

    WHAT if you could simply press "PLAY" and listen to a short, "miracle tone"...

    And INSTANTLY attract MORE MONEY into your LIFE?

    And I'm really talking about thousands... even MILLIONS of DOLLARS!!!

    Sound too EASY? Think it couldn't possibly be REAL??

    Well then, I'll be the one to tell you the news...

    Sometimes the most significant blessings in life are also the EASIEST!!!

    In fact, I will provide you with PROOF by letting you listen to a REAL "miracle abundance tone" I developed...

    You simply hit "PLAY" and watch as your abundance angels fly into your life. it starts right away.

    CLICK here now to experience this mysterious "Miracle Wealth Building Tone" as my gift to you!!!

    ReplyDelete