Berkaitan dengan adanya beberapa kasus pemanggilan
wartawan untuk diperiksa oleh lembaga penyidik atau menjadi saksi dalam perkara
yang terkait dengan karya jurnalistik, Dewan Pers telah menyampaikan pedoman mengenai ketentuan dan
penerapan Hak Tolak, serta Pertanggungjawaban hukum, sebagai berikut:
- Wartawan sebagai warga negara yang taat hukum secara prinsip wajib memenuhi panggilan lembaga penyidik untuk diperiksa atau menjadi saksi dalam pengadilan. Wartawan, berdasarkan sifat profesinya, memiliki Hak Tolak, yaitu hak untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan (seperti diatur dalam UU No. 40/1999, tentang Pers). Namun Hak Tolak ini tidak berarti “lembaga pers menolak pemanggilan untuk didengar keterangannya oleh pejabat penyidik”.
- Jika wartawan berkeberatan untuk memberikan keterangan, khususnya menyangkut identitas narasumber confidential, maka hal itu dilindungi oleh Pasal 4 ayat (4), UU Pers, yang berbunyi: “Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak." Tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi identitas sumber informasi. Hak tersebut dapat digunakan jika wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di pengadilan.
- Meskipun demikian penerapan hak tolak hendaknya tidak digunakan secara sembarangan. Narasumber yang layak dilindungi identitasnya melalui hak tolak adalah mereka yang memang memiliki kredibilitas, beritikad baik, berkompeten, dan informasi yang disampaikan terkait dengan kepentingan publik. Selain itu, perlu disadari, bahwa pada akhirnya hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan terpisah yang khusus memeriksa soal itu.
- Selain diatur dalam UU Pers, dasar hukum hak tolak juga terdapat dalam Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa “mereka yang menjalankan perintah UU tidak dapat dihukum”. Dalam menjalankan tugas jurnalistik pers menjalankan amanat UU Pers, sehingga berkonsekuensi tidak dapat dihukum ketika menggunakan hak tolaknya. Pasal 170 KUHAP yang berbunyi, “Mereka yang karena pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.”
- Kepada aparat penegak hukum, perlu diingatkan bahwa tugas utama wartawan adalah mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Aparat hukum sedapat mungkin menghindari memanggil wartawan untuk dimintai keterangan atau menjadi saksi, jika informasi yang telah dicetak atau disiarkan di media massa dirasakan bisa menjadi bahan untuk mengusut kasus.
- Dalam hal adanya dugaan pelanggaran hukum terhadap karya jurnalistik, pertanggungjawaban hukum ditujukan kepada “penanggung jawab” institusi pers bersangkutan. Merujuk pada UU Pers, Pasal 12, yang dimaksud dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab. Apabila pihak kepolisian menerima pengaduan perkara pidana menyangkut karya jurnalistik, maka menurut UU Pers tidak perlu menyelidiki siapa pelaku utama perbuatan pidana, melainkan langsung meminta pertanggungjawaban dari Penanggung Jawab, sebagai pihak yang harus menghadapi proses hukum.
=======================================================================
PEDOMAN HAK JAWAB
- Hak Jawab adalah hak seseorang, sekelompok orang, organisasi atau badan hukum untuk menanggapi dan menyanggah pemberitaan atau karya jurnalistik yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, terutama kekeliruan dan ketidakakuratan fakta, yang merugikan nama baiknya kepada pers yang memublikasikan.
- Hak Jawab berasaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, dan profesionalitas.
- Pers wajib melayani setiap Hak Jawab.
- Fungsi Hak Jawab adalah:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat;
b. Menghargai martabat dan kehormatan orang yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers;
c. Mencegah atau mengurangi munculnya kerugian yang lebih besar bagi masyarakat dan pers;
d. Bentuk pengawasan masyarakat terhadap pers. - Tujuan Hak Jawab untuk:
a. Memenuhi pemberitaaan atau karya jurnalistik yang adil dan berimbang;
b. Melaksanakan tanggung jawab pers kepada masyarakat;
c. Menyelesaikan sengketa pemberitaan pers;
d. Mewujudkan
iktikad baik pers.
- Hak Jawab berisi sanggahan dan tanggapan dari pihak yang dirugikan.
- Hak Jawab diajukan langsung kepada pers yang bersangkutan, dengan tembusan ke Dewan Pers.
- Dalam hal kelompok orang, organisasi atau badan hukum, Hak Jawab diajukan oleh pihak yang berwenang dan atau sesuai statuta organisasi, atau badan hukum bersangkutan.
- Pengajuan Hak Jawab dilakukan secara tertulis (termasuk digital) dan ditujukan kepada penanggung jawab pers bersangkutan atau menyampaikan langsung kepada redaksi dengan menunjukkan identitas diri.
10.
Pihak yang mengajukan Hak Jawab wajib
memberitahukan informasi yang dianggap merugikan dirinya baik bagian per bagian
atau secara keseluruhan dengan data pendukung.
11.
Pelayanan Hak Jawab tidak dikenakan biaya.
12.
Pers dapat menolak isi Hak Jawab jika:
a. Panjang/durasi/jumlah karakter materi Hak Jawab melebihi pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
b. Memuat fakta yang tidak terkait dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
c. Pemuatannya dapat menimbulkan pelanggaran hukum;
d. Bertentangan dengan kepentingan pihak ketiga yang harus dilindungi secara hukum.
a. Panjang/durasi/jumlah karakter materi Hak Jawab melebihi pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
b. Memuat fakta yang tidak terkait dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang dipersoalkan;
c. Pemuatannya dapat menimbulkan pelanggaran hukum;
d. Bertentangan dengan kepentingan pihak ketiga yang harus dilindungi secara hukum.
13.
Hak Jawab dilakukan secara proporsional:
a. Hak Jawab atas pemberitaan
atau karya jurnalistik yang keliru dan tidak akurat dilakukan baik pada bagian
per bagian atau secara keseluruhan dari informasi yang dipermasalahkan;
b. Hak Jawab dilayani pada tempat
atau program yang sama dengan pemberitaan atau karya jurnalistik yang
dipermasalahkan, kecuali disepakati lain oleh para pihak;
c. Hak Jawab dengan
persetujuan para pihak dapat dilayani dalam format ralat, wawancara, profil, features,
liputan, talkshow, pesan berjalan, komentar media siber, atau format lain
tetapi bukan dalam format iklan;
d. Pelaksanaan Hak Jawab
harus dilakukan dalam waktu yang secepatnya, atau pada kesempatan pertama
sesuai dengan sifat pers yang bersangkutan;
1) Untuk pers cetak wajib memuat Hak Jawab pada edisi berikutnya atau selambat-lambatnya pada dua edisi sejak Hak Jawab dimaksud diterima redaksi.
2) Untuk pers televisi dan radio wajib memuat Hak Jawab pada program berikutnya.
1) Untuk pers cetak wajib memuat Hak Jawab pada edisi berikutnya atau selambat-lambatnya pada dua edisi sejak Hak Jawab dimaksud diterima redaksi.
2) Untuk pers televisi dan radio wajib memuat Hak Jawab pada program berikutnya.
e. Pemuatan Hak Jawab
dilakukan satu kali untuk setiap pemberitaaan;
f. Dalam hal terdapat
kekeliruan dan ketidakakuratan fakta yang bersifat menghakimi, fitnah dan atau
bohong, pers wajib meminta maaf.
14.
Pers berhak menyunting Hak Jawab sesuai dengan
prinsip-prinsip pemberitaan atau karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah
substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan.
15.
Tanggung jawab terhadap isi Hak Jawab ada pada
penanggung jawab pers yang memublikasikannya.
16.
Hak Jawab tidak berlaku lagi jika setelah 2 (dua)
bulan sejak berita atau karya jurnalistik dipublikasikan pihak yang dirugikan
tidak mengajukan Hak Jawab, kecuali atas kesepakatan para pihak.
17.
Sengketa mengenai pelaksanaan Hak Jawab
diselesaikan oleh Dewan Pers.
Sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers, pers yang tidak melayani Hak Jawab selain melanggar Kode Etik Jurnalistik
juga dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00
(Lima ratus juta rupiah).
PENYELESAIAN
SENGKETA PERS AKIBAT PEMBERITAAN
1. Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Pers
Apabila seseorang merasa telah
dicemarkan nama baiknya atau difitnah melalui berita yang ditulis melalui media
cetak, bagaimana UU No. 40/1999 tentang Pers menjawab persoalan ini?
Terhadap sebuah karya jurnalistik
yang berkaitan dengan berita, pers sepatutnya memenuhi kaidah-kaidah yang sudah
ditentukan dalam UU No. 40/1999, khususnya Pasal 5 ayat (1) yang menegaskan:
Pers nasional berkewajiban
memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa
kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Sedangkan Penjelasan Pasal 5 ayat
(1) menyatakan:
Pers nasional dalam menyiarkan
informasi, tidak menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang
terlebih lagi untuk kasus-kasus yang masih dalam proses peradilan, serta dapat
mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan
tersebut.
Rambu-rambu
inilah yang semestinya tidak dilanggar oleh pers dalam menjalankan tugas
jurnalistiknya.
Namun
demikian harus diakui bahwa rumusan Pasal 5 ayat (1) beserta Penjelasannya ini
kurang lengkap dan kurang jelas, dalam arti tidak secara rinci dan tegas
menyebutkan ketentuan dan syarat-syarat yang tergolong melanggar Pasal 5 ayat
(1)- hal seperti inilah yang dianggap membedakannya dengan Pasal-pasal dalam
KUHP. Bagi insan pers, boleh jadi Pasal 5 ayat (1) ini dianggap cukup jelas,
namun tidak demikian halnya
bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, masing-masing pihak dapat
menginterpretasikan muatan Pasal ini secara bebas. Dan akibat dari
kekurangtegasan pasal ini, tak salah pula kalau sebagian masyarakat lebih
memilih menggunakan pasal-pasal KUHP untuk menjerat pers, kendati pula ada
sebagian masyarakat lainnya yang masih menghormati UU Pers dengan lebih memilih
penyelesaiannya melalui UU No. 40/1999 tentang Pers.
Kembali pada
persoalan diatas, andaikata seseorang telah merasa tercemar nama baiknya, atau
merasa dirinya telah difitnah melalui pemberitaan media massa (cetak), menurut
UU Pers dapat ditafsirkan bahwa pers tersebut telah menyalahi atau melanggar
Pasal 5 ayat (1). Selanjutnya, pihak yang merasa dirugikan dapat menggunakan
Hak Jawab [Pasal 5 ayat (2)] dan Hak Koreksi [Pasal 5 ayat (3)] yang wajib
dipenuhi oleh pers atau pers memiliki kewajiban koreksi seperti ditentukan
dalam Pasal 1. Dengan kata lain, UU Pers telah mempertegas pers untuk memiliki
sikap yang bertanggungjawab.
Perlu dijelaskan di
sini bahwa UU Pers telah mengakomodasi beberapa bentuk hak yang bersentuhan
langsung dengan pers, yaitu:
a.
Hak Tolak adalah hak wartawan karena
profesinya untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari
sumber berita yang harus dirahasiakannya.
b.
Hak Jawab adalah hak seseorang atau
sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap
pemberitahuan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
c.
Hak Koreksi adalah hak setiap orang
untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh
pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Kewajiban koreksi
adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data
fakta, opini atau gambar yang tidak benar telah diberitakan oleh pers.
Hak Tolak adalah
hak wartawan untuk melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi. Sebab, adakalanya wartawan terikat pada
kesepakatan dengan narasumber yang meminta off
the record atau menolak identitasnya disebutkan sebagai sumber berita dalam
memberikan informasi kepada pers. Hak tolak tersebut dapat digunakan jika
wartawan diminta keterangan oleh pejabat penyidik dan atau diminta menjadi
saksi di pengadilan. Pasal 4 ayat (4) UU No. 40/1999 menegaskan: “Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak
Tolak.”
Selain Pasal 4 ayat
(4) UU Pers, landasan yuridis hak tolak juga telah ditetapkan dalam Pasal 170
KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang menegaskan:
Mereka yang karena pekerjaan,
harkat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat diminta dibebaskan
dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang
dipercayakan kepada mereka.
Ketentuan ini berkaitan pula dengan
Pasal 322 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik
yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 9
bulan atau denda….”
Hak Jawab adalah
hak seseorang atau kelompok masyarakat untuk memberikan tanggapan atau
sanggahan terhadap karya jurnalistik menyangkut fakta (pemberitaan) yang
bersifat sepihak dan tidak akurat sehingga merugikan nama baiknya.
Hak jawab biasanya
digunakan untuk kasus kekurangan atau kelemahan berita yang tidak terlalu fatal
dampaknya, seperti kelengkapan fakta, tambahan penjelasan, melengkapi berita
sepihak atau mempersoalkan akurasi. Dengan menanggapi, meluruskan, atau
melengkapi informasi dan opini berita yang tidak akurat, diharapkan berita yang
bersangkutan menjadi seimbang.
Hak Jawab
sebetulnya termasuk dalam wilayah kode etik, bukan wilayah hukum, dan lazimnya
redaksi media wajib menyediakan ruang untuk Hak Jawab, meskipun sifatnya
prerogative redaksi. Pelayanan hak jawab biasanya ditempatkan pada rubric surat
pembaca. Jika hak jawab itu proporsional panjangnya dan ditulis dengan bahasa
yang cukup baik, sebaiknya dimuat secara utuh. Dalam kasus yang fatal, karena
kelalaian media yang memang merugikan seseorang, Hak Jawab bisa dimuat pada
halaman di mana berita sebelumnya dimuat.
Oleh sebab itu,
dalam hal adanya pihak yang merasa dirugikan terhadap karya jurnalistik
(pemberitaan), tentunya dapat menggunakan serangkaian hak-hak yang sudah diberikan
oleh UU Pers tersebut. Sedangkan pers wajib mematuhi penggunaan hak-hak
tersebut (Hak Jawab dan Hak Koreksi) yang diberikan oleh undang-undang kepada
masyarakat yang bersentuhan langsung dengan isi pemberitaan pers.
Memang, dalam hal
penggunaan Hak Jawab, adakalanya masyarakat merasa penempatannya di media tidak
memiliki proporsi yang sama atau tidak berimbang, dalam arti terkadang pihak
pers hanya meletakkan Hak Jawab dalam rubric surat pembaca padahal berita
sebelumnya yang dianggap telah merugikan itu ditulis dalam kolom yang besar.
Oleh karena itu, menyangkut kesalahan pers yang terlalu besar, terkadang pihak
yang merasa dirugikan terlebih dahulu memberikan somasi (peringatan, teguran)
dan selanjutnya dapat bernegosiasi mengenai hal peletakan kolom untuk bantahan
atau Hak Jawab.
Seperti telah
disinggung di atas, Hak Jawab merupakan ketentuan kode etik. Hal ini tercantum
dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang ditetapkan oleh Dewan Pers, di
mana pada butir ke-7 disebutkan tentang pemenuhan Hak Jawab, yaitu “Wartawan
Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta
melayani Hak jawab.” Penafsirannya, “Wartawan Indonesia segera mencabut dan
meralat pemberitaan dan penyiaran yang keliru dan tidak akurat dengan disertai
permintaan maaf. Ralat ditempatkan pada halaman yang sama dengan informasi yang
salah atau tidak akurat. Dalam hal pemberitaan yang merugikan seseorang atau
kelompok, pihak yang dirugikan harus memberikan kesempatan untuk melakukan
klarifikasi.”
Namun demikian, oleh
pembuat UU rupanya Hak Jawab telah diangkat menjadi ketentuan hukum positif
dalam UU No. 40/1999 tentang Pers. Oleh sebab itu, sekalipun Hak Jawab sudah
dilaksanakan oleh pers dan secara etika sebetulnya persoalan telah dianggap
selesai, tidak tertutup kemungkinan bahwa pihak yang merasa dirugikan
melanjutkan persoalannya ke pengadilan, mengingat UU pers ini tidak melarang
hal ini. Dengan kata lain, tidak ada ketentuan di dalam UU Pers yang menegaskan
bahwa apabila hak Jawab sudah dilaksanakan, tidak boleh lagi mengajukan
tuntutan ke pengadilan.
Sekalipun demikian,
pengadilan pernah memutus perkara yang mengakui eksistensi Hak Jawab sehingga
dapat diangkat menjadi yurisprudensi. Putusan pengadilan tersebut berdasarkan
perkara harian Garuda, Medan, yang digugat
oleh PT Anugerah karena berita yang ditulis oleh media tersebut dianggap telah
memenuhi unsure perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) berdasarkan Pasal 1365 KUHPer, dengan tuntutan ganti rugi Rp 5
miliar. Kasus ini muncul setelah harian Garuda
dalam berita edisi 14 November 1989 berjudul “Buat Masalah” antara lain
menuliskan: “PT Anugerah dalam operasinya melakukan penyimpangan yang merugikan
rakyat, pengurusan-pemindahan gedung sekolah-SMA-Stasiun Kereta Api, dan kini
merambah pula ke Langkat……. Masyarakat mengirim delegasi ke DPRD Sumatera Utara
mengenai penggusuran tanahnya…..”
Atas perkara No.
3173.K/Pdt/1991 tersebut, Pengadilan Negeri Medan menghukum harian Garuda
membayar ganti rugi Rp 50 juta. Putusan ini kemudian diperkuat oleh Pengadilan
Tinggi. Namun, pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung yang mengeluarkan putusan
bertanggal 28 April 1993 telah membatalkan putusan judex facti (Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri) dan menolak gugatan Penggugat seluruhnya.
Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim Agung,
antara lain dikatakan:
Apabila berita harian Garuda
tersebut tidak benar, maka penggugat dapat menggunakan “Hak Jawab”. Namun
ternyata hak itu tidak dipergunakan oleh penggugat tersebut, dan ini dapat
disimpulkan bahwa apa yang diberitakan oleh tergugat dalam harian Garuda adalah mengandung kebenaran atau paling
tidak mengandung nilai estimasi.
Dalam pertimbangan
hukum lainnya, juga disebutkan, “Perlunya terlebih dahulu pelaksanaan ‘Hak
Jawab’ apabila sebuah berita dianggap merugikan.”
Dengan adanya
yurisprudensi Mahkamah Agung ini, kedudukan Hak Jawab dimata hukum menjadi
sangat penting dan diakui keberadaannya.
Maka, sebelum mengajukan gugatan atau tuntutan ke pengadilan akibat
sebuah pemberitaan, masyarakat sebaiknya melaksanakan terlebih dahulu ketentuan
Hak Jawab.
Namun, sebaliknya,
bagaimana jika pihak pers tidak mau memenuhi Hak Jawab? Apabila pihak pers
tidak menaati ketentuan penggunaan Hak Jawab, dalam arti pers tidak mau
menjalankan perintah yang telah diwajibkan dalam pasal 5 ayat (1) dan (2) UU
Pers, pers dapat dituntut ke pengadilan dengan ancaman terkena sanksi Pasal 18
UU Pers, yaitu pidana denda sebesar Rp 500 juta.
Pertanyaannya
kemudian adalah siapa yang harus mempertanggung -jawabkannya di pihak pers?
Seperti telah disinggung sebelumnya, berita adalah produk media hasil kerja
hasil kerja tim redaksi (hasil kerja kolektif). Oleh karenanya, yang
bertanggung jawab terhadap materi berita adalah redaksi media tersebut, yang
dalam Pasal 12 UU Pers dipresentasikan atau diwakilkan oleh Pemimpin Redaksi,
termasuk apabila muncul tuntutan hukum.
*****************************
Penyelesaian melalui Dewan Pers
Mekanisme lain yang dapat ditempuh
oleh masyarakat atau pihak yang merasa telah dirugikan oleh pemberitaan media cetak-selain
penyelesaian secara langsung dengan pers yang bersangkutan-adalah mengajukan
permasalahannya kepada Dewan Pers. UU Pers, khususnya Pasal 15 ayat (2), telah
secara tegas dan khusus memberikan tujuh fungsi sekaligus kepada Dewan Pers:
Dewan
Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Melindungi
kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b. Melakukan
pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c. Menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d. Memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e. Mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
f.
Memfasilitasi organisasi-organisasi
pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan
kualitas profesi kewartawanan;
g. Mendata
perusahaan pers.
Dewan Pers ini
merupakan lembaga yang melakukan pengawasan terhadap penegakan etika pers,
sedangkan sanksi pelanggarannya menjadi tanggung jawab perusahaan atau
organisasi pers. Karena itu, Dewan Pers tidak bekerja pada ranah hukum. Tugas
Dewan Pers adalah menjadi mediator antara masyarakat dan pers serta fasilitator
untuk meningkatkan kualitas kemerdekaan
pers.
Dewan Pers akan
menguji dan mengkaji pengaduan yang terkait dengan pemberitaan atau karya
jurnalistik untuk kemudia memberikan penilaian mengenai kualitas berita (karya
jurnalistik ) tersebut. Jika diperlukan, Dewan Pers mengundang redaksi media
bersangkutan untuk menjawab atau membela diri. Selanjutnya akan dinilai apakah
berita yang dimaksud telah melanggar etika, atau tidak professional, atau
sekedar tidak akurat. Dalam dunia jurnalisme professional, dikenal istilah absence of malice (tidak ada niat
jahat). Jadi, penanganan dalam pelanggaran etika yang dilakukan pada jurnalisme
professional ditujukan untuk mencari solusi perbaikan atas kelalaian dan
kesalahan praktik jurnalistik. Rumusan solusi atas pelanggaran etika mencakup:
ralat atau koreksi, hak jawab, atau permintaan maaf secara terbuka.
Bagaimana bila
pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan pers tergolong berat? Dalam hal ini,
Dewan Pers dapat memberikan penilaian dan mengeluarkan rekomendasi berupa
teguran, peringatan keras, atau sanksi moral. Bahkan dapat merekomendasikan
agar media yang bersangkutan melakukan permohonan maaf secara terbuka ditambah
dengan pemuatan hak jawab atau penulisan ulang (sesuai permohonan dari si
pelapor atau pihak yang mengadukan). Upaya seperti inilah yang pernah dilakukan
oleh Laksamana Sukardi ketika berhadapan dengan media cetak. Ia membawa perkara
ini ke Dewan Pers dan tidak memilih jalan ke pengadilan.
Mandat yang
diberikan kepada Dewan Pers adalah sepanjang pelanggaran etika pers (bukan
lingkup pelanggaran hukum). Namun demikian, pelanggaran etika atau kode etik
juga dapat diasumsikan sebagai kesalahan yang diakibatkan oleh kelalaian, bukan
karena (niat) kesengajaan.
Namun, bila Dewan
Pers melihat bukti kuat bahwa ada unsur kesengajaan, misalnya untuk memfitnah,
mencemarkan nama baik, atau menyebarkan kabar bohong, pihak yang merasa dirugikan
bisa saja menggugatnya ke pengadilan. Dalam hal ini, Dewan Pers tidak akan
turut campur karena pelanggaran semacam ini telah masuk dalam lingkup hukum.
Sekalipun demikian, hal ini tetap berpulang sepenuhnya kepada pihak yang merasa
dirugikan: apakah mau menggugat atau menuntutnya ke pengadilan atau
diselesaikan melalui Dewan Pers.
Dewan Pers hanya
berperan sebagai mediator antara public dan pers untuk mencari solusi terhadap
pelanggaran etika pers. Sedangkan sanksi bagi wartawan yang melanggar standar
profesi dan kode etik jurnalistik merupakan wewenang perusahaan pers yang
memperkerjakannya dan organisasi wartawan tersebut untuk memberikan sanksi
kepada wartawan yang terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik
jurnalistik, berupa teguran keras, skorsing, atau pemecatan.
Menurut insan pers,
mengakui kesalahan dengan mengeluarkan pernyataan permohonan maaf secara
terbuka kepada pihak yang telah merasa dirugikan sesungguhnya sudah merupakan
hukuman yang berat, bahkan sangat berat. Sebab, hal ini menandakan tidak
akuratnya berita atau karya jurnalistik
yang disajikan kepada pembacanya. Dan jika hal ini berulang kali
dilakukan oleh pers, kredibilitas pemberitaannya dan citra profesionalitas
wartawan (pengelola) media cetak tersebut ditinggal alri oleh pembacanya, dan
ujung-ujungnya dapat membangkrutkan perusahaan itu sendiri.
Oleh karena itu,
sengketa pers sebagai akibat pemberitaan yang diselesaikan dengan UU Pers
melalui jalur Dewan Pers, sebetulnya dapat dijadikan pemelajaran, bahkan acuan
bagi masyarakat. Sudah banyak contoh kasus pers yang penyelesaiannya memilih
menggunakan UU Pers. Salah satu contohnya adalah kasus Laksamana Sukardi versus
beberapa media massa yang akan digambarkan dibawah ini.
PERTANGGUNGJAWABAN
HUKUM TERHADAP PERS
Persoalan yang
muncul akibat adanya dualism hukum dalam menangani kasus pers, yakni antara
penerapan UU No. 40/1999 tentang Pers dan KUHP, merupakan masalah
pertanggungjawaban hukum. Pasalnya, aspek yuridis pertanggungjawaban hukum yang
sudah ditegaskan dalam UU Pers jauh berbeda dengan pertanggungjawaban hukum
yang dikenal dalam KUHP.
Akibatnya subjek
hukum atau pelaku (insane pers) yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
berdasarkan UU Pers dan KUHP memiliki perbedaan yang mendasar. Sebelum menguraikan
lebih jauh tentang pertanggungjawaban hukum terhadap pers, tampaknya perlu
dipahami terlebih dahulu lingkup kerja jurnalistik agar kita mendapatkan
gambaran yang utuh dan jelas sebelum menentukan: pertanggungjawaban mana yang
seharusnya digunakan, berdasarkan UU Pers ataukah KUHP?
Sebuah karya
jurnalistik yang terbuat di media cetak merupakan hasil kerja kolektif.
Seorang reporter
atau wartawan di lapangan dapat membuat berita apa saja. Namun yang menentukan
dapat-tidaknya dan layak-tidaknya berita itu dimuat atau dipublikasikan di
medianya tidak ditentukan oleh reporter (wartawan) yang bersangkutan, melainkan
melalui lembaga rapat (mekanisme rapat redaksi).
Dari hasil rapat
redaksi wartawan tersebut mengejar berita, dan setelah ditulis oleh wartawan
yang bersangkutan, berita itu akan disunting (diedit) oleh redakturnya dan
ditetapkan,
apakah layak muat atau tidak. Adakalanya tulisan yang sudah melewati proses
editing itu kemudian dibaca lagi oleh Pemimpin Redaksinya, tetapi pada umumnya
tidak dikoreksi lagi olehnya, karena ia percaya kepada Redaktur Pelaksana
(Redpel) yang merupakan atasan dari redaktur yang menjalankan operasional
sehari-hari.
Dengan demikian,
lahirnya sebuah berita di media cetak melewati proses reportase, penulisan, editing, dan pemuatannya yang terlebih
dahulu disetujui oleh rapat redaksi. Lalu, dengan mekanisme kerja seperti ini,
bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum jika terjadi kasus hukum berkaitan
dengan pemberitaan?
1. Tanggung Jawab Hukum menurut UU Pers
Berangkat dari
mekanisme kerja atau “aturan main” di pers seperti telah digambarkan di atas,
UU No. 40/1999 tentang Pers, khususnya Pasal 12 beserta penjelasannya, menganut
prinsip “pertanggungjawaban fiktif”
atau disebut juga Stair System
(sistem bertangga).
Dengan sistem
pertanggungjawaban fiktif ini, jika terjadi penuntutan hukum, yang bertanggung
jawab terhadap materi berita adalah redaksi media yang dalam hal ini umumnya
diwakili oleh Pemimpin Redaksi (pemred).
Dengan demikian
pertanggungjawaban yang dipikul oleh Pemimpin Redaksi atau pejabat yang
ditunjuk sebagai penanggung jawab di media adalah “fiktif” karena yang
melakukan perbuatan (delik) bukanlah Pemred, melainkan orang lain (wartawan),
tetapi ia harus bertanggung jawab. Dengan kata lain, orang yang diajukan ke
pengadilan (terutama pidana) belum tentu orang yang langsung melakukan tindak
pidana yang dituduhkan. Karena Pasal 12 UU Pers telah menegaskan siapa yang
harus bertanggung jawab (umumnya Pemred atau Pemimpin Umum), pejabat itulah
yang “mewakili” dalam menghadapi tuntutan.
Ditegaskan dalam
Pasal 12 j. no.
18 ayat (2) UU No. 40/1999 bahwa:
Perusahaan
pers wajib mengumumkan nama, alamat,dan penanggung jawab secara terbuka melalui
media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat
percetakan.
Sedangkan Penjelasan Pasal 12
mengatakan:
Pengumuman secara terbuka dilakukan
dengan cara:
a. Media
cetak memuat kolom nama, alamat dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan
alamat percetakan;
b. Media
elektronik menyiarkan nama, alamat dan penanggung jawabnya pada awal atau akhir
setiap siaran karya jurnalistik;
c. Media
lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan.
Pengumuman tersebut
dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang
diterbitkan atau disiarkan.
Yang dimaksud
dengan “penanggung jawab” adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi
bidang usaha dan bisnis redaksi.
Sepanjang
menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Selain itu, Pasal 18 ayat (3)
menyebutkan: perusahaan pers yang
melanggar ketentuan pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp 100 juta.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan UU
Pers ini mempunyai implikasi atau konsekuensi hukum bahwa wartawan bisa bebas
dari posisi sebagai terdakwa, sehingga ketentuan Pasal 55-56 KUHP (tentang
penyertaan dalam perbuatan pidana) tidak berlaku.
2.
Tanggung
Jawab Hukum menurut KUHP
Bertolak belakang dengan
pertanggungjawaban hukum menurut UU Pers, dalam hukum pidana dikenal
pertanggungjawaban individual atau pribadi. Hukum pidana mengenal asas hukum
bahwa: “siapa yang berbuat, maka dia yang harus bertanggung jawab”. Dengan
demikian, asas hukum pidana mengenal pertanggungjawaban secara langsung yang tidak dapat dialihkan. Siapa yang
melakukan tindak pidana, dialah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
di hadapan hukum.
Sedangkan
soal kadar keterlibatan seseorang dalam tindak pidana telah dijabarkan dalam
pasal 55 dan 56 KUHP. Berdasarkan kedua pasal inilah, penyidik melakukan
penyelidikan untuk menetapkan siapa yang menjadi pelaku utama suatu tindak
pidana.
Pasal
55 ayat (1): Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana:
Ke-1:
mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turun serta melakukan
perbuatan;
Ke-2:
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain
supaya melakukan perbuatan.
Ayat
(2): terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Jadi, menurut Pasal55 KUHP, dalam
suatu tindak pidana dikenal empat jenis pelaku, yaitu:
1.
Pelaku (dader): berarti orang yang melakukan sendiri (pelaku utama);
2.
Pelaku yang menyuruh melakukan (doenplagen): berarti ada lebih dari
seorang yang melakukan tindak pidana;
3.
Pelaku yang turut melakukan (medeplegen): berarti pelaku turut
bersama-sama dengan orang lain melakukan tindak pidana;
4.
Pelaku yang membujuk untuk melakukan
tindak pidana (uitlokken): berarti ia
membujuk untuk menyuruh melakukan tindak pidana dengan upaya pembujukan, dapat
berupa uang, hadiah, jabatan, dan sebagainya.
Sedangkan mereka
yang membantu orang lain melakukan tindak pidana ditentukan dalam pasal 56 KUHP
sebagai berikut:
Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan:
Ke-1:
mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Ke-2:
mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.
Berdasarkan kedua
Pasal tersebut, jika ada pers yang dituntut karena melakukan tindak pidana
seperti dituduhkan dalam pasal-pasal KUHP, subyek hukum atau yang tergolong
pelaku (termasuk membantu melakukan) semestinya adalah:
1.
Wartawan, yang telah membuat atau
menulis berita;
2.
Redaktur, yang mengedit naskah dan
menentukan turunnya naskah
3.
Lembaga Sidang Redaksi, dalam arti orang
yang ikut bersidang atau rapat redaksi ketika bersepakat menentukan turunnya
tulisan tersebut;
4.
Redaktur Pelaksana, yaitu orang yang
bertanggung jawab terhadap operasional sehari-hari termasuk pula persetujuan
penurunan berita;
5.
Pemimpin Redaksi, sebagai penanggung
jawab redaksi yang adakalanya ia sudah membaca tulisan berita tersebut dan
menyetujuinya untuk dimuat, akan tetapi adakalanya tidak membacanya karena
sudah diserahkan sepenuhnya kepada bawahannya di jajaran redaksi;
6.
Penerbit, yaitu badan usaha yang menerbitkan
media yang di dalamnya mengandung tulisan yang tergolong tindak pidana;
7.
Percetakan, yaitu pihak yang
membantu melakukan percetakan hal yang di dalamnya mengandung tulisan yang
tergolong tindak pidana dan memperbanyaknya;
8.
Sirkulasi atau distribusi, yaitu
pihak yang membantu mengirim dan menyebarkan medianya yang di dalamnya terdapat
berita yang tergolong tindak pidana;
9.
Agen Koran/majalah, karena membantu
mengedarkan tulisan yang tergolong tindak pidana;
10. Pengecer
Koran/majalah, toko-toko, karena membantu mengedarkan ke masyarakat.
Ada segitu banyak
pihak atau pelaku yang sebetulnya dapat dikenakan sanksi pidana jika
pasal-pasal KUHP digunakan secara konsisten dalam kasus pers. Adilkah?
Memang
, dalam praktiknya, penghukuman bagi pelaku tindak pidana pers tidak sebanyak
yang disebutkan itu. Sebab, pada umumnya, hanya wartawan yang menulis atau
Pemimpin Redaksi-nya yang dimintai pertanggungjawaban. Namun seandainya yang
dituntut pidana hanya wartawannya, apakah juga adil, mengingat ia hanya
menuliskannya dan tulisan tersebut tidak mungkin dapat termuat apabila tidak
melewati sidang atau rapat redaksi dan apabila tidak ada persetujuan
(penyuntingan) redakturnya? Sedangkan jika redaktur saja yang dituntut, hal ini
juga kurang memenuhi rasa keadilan. Sebab, redaktur hanya menjalankan tugas
dari apa yang telah diputuskan oleh rapat redaksi, dan ia hanya menerima bahan
baku berita dari hasil pencarian wartawan di lapangan, yang kemudian diolahnya
(dimasak) untuk kemudian menjadi berita yang layak dimuat. Lalu, bagaimana
dengan bagian artistic, yang telah me-lay-out tulisan itu sehingga jika tidak
ada yang melakukan kerja ini tidak mungkin naik kepercetakan? Bagaimana dengan
orang-orang yang ikut rapat sidang redaksi? Bagaimana Pemimpin Redaksi-nya? Di
atas pemimpin redaksi masih ada pemimpin Umum yang bertanggung jawab terhadap
redaksi dan bisnis. Semua itu perlu digambarkan mengingat mekanisme kerja di
pers bersifat kolektif, sementara hukum pidana hanya mengenal subjek hukum
individual yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Oleh sebab itu,
tidaklah berlebihan jika pihak pers menilai penggunaan pasal-pasal KUHP untuk
perkara hukum pers terlalu dipaksakan sebagaimana sering terjadi dalam praktik
di pengadilan. Padahal adagium hukum yang ditujukan kepada hakim sudah jelas
menyebutkan, “lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum
orang yang tidak bersalah.” Nah, penanganan kasus hukum pers melalui KUHP
membuat adagium ini menjadi kacau. Akibatnya, pengadilan pidana bisa saja menghukum
wartawan padahal bukan si wartawanlah yang sebetulnya melakukan tindak pidana.
3.
Menjerat
Pers dengan KUH Perdata (KUHPer)
Sebuah pemberitaan
yang dianggap bersifat provokatif dan tendensius, dan menyiarkan informasi yang
bersifat dusta dan fitnah serta menjadikan medianya sebagai sarana untuk
menyebar luaskan pemberitaan/informasi yang bersifat mendiskreditkan seseorang,
dapat pula dijerat dengan hukum perdata berdasarkan KUHPerdata dengan
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
1365 KUHPerdata yang berbunyi:
Tiap
perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu, karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.
Pers dapat dikategorikan melanggar
pasal perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) jika:
1.
Bertentangan dengan kewajiban hukum.
2.
Melanggar hak subjektif, dalam hal
ini hak-hak pribadi (hak atas integritas pribadi, kehormatan, serta nama baik).
3.
Melanggar kaidah tata susila.
4.
Bertentangan dengan asas kepatutan,
ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesame warga masyarakat.
Sanksi yang dapat
diberikan kepada pers akibat perbuatan melanggar hukum tersebut adalah ganti
rugi, baik ganti rugi secara moril maupun secara materiil. Kerugian materiil
berkaitan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan terhadap dampak pemberitaan
tersebut. Sedangkan kerugian moril berupa telah tercemarnya nama baik, atau
dengan kata lain dapat merugiakn seseorang secara immaterial.
4.
Menjerat Pers dengan UU Pers
Persoalan mendasar yang bisa jadi
dikhawatirkan oleh sebagian masyarakat yang menghadapi kasus hokum pers adalah
bahwa apabila UU No. 40/1999 tentang pers diterapkan dalam kasusnya, tidak akan ada sanksi pidana di dalamnya.
Tentu
saja pendapat ini kurang tepat. Sebab, UU pers mengenal pertanggungjawaban
pidana, yaitu dalam hal:
·
Pers tidak memberitakan peristiwa
dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
serta asas praduga tak bersalah [pasal 5 ayat (1)];
·
Pers tidak melayani Hak jawab [Pasal
5 ayat (2)];
·
Pers melanggar pemuatan iklan
seperti ditegaskan Pasal 13;
·
Pers tidak berbadan hokum [Pasal 9
ayat (2)];
·
Pers tidak mengumumkan nama, alamat
dan penanggungjawab ditambah nama dan alamat percetakan (Pasal 12).
Untuk itu, UU Pers telah
mengakomodasi sanksi pidana sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (2) yang
menyatakan:
“perusahaan
pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta pasal 13
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.” Dan Pasal 18 Ayat (3) juga menegaskan: “perusahaan pers yang melanggar ketentuan
Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100
juta.”
Sebetulnya ketentuan ini juga
dirasakan sudah cukup berat bagi pers, apalagi bagi perusahaan pers berskala
kecil; pidana denda sebesar Rp 500 juta, misalnya, sudah pasti langsung
mematikan kehidupannya. Namun demikian, pihak pers merasa ketentuan ini pun sangat
tidak adil, terutama dalam soal tidak memenuhi “Hak Jawab”.
Pasalnya apabila Hak Jawab sudah
diberikan oleh pers, semestinya ada pula ketentuan yang menegaskan bahwa telah
tertutup kemungkinan untuk mengajukan persoalan yang sama ke pengadilan. Namun,
ketentuan seperti itu tidak ada, sehingga bukan tidak mungkin pihak yang sudah
diberikan Hak Jawab-nya oleh pers, kemudian tetap melanjutkan perkaranya ke
pengadilan.
Selain itu, ketentuan lain yang juga
dianggap oleh masyarakat tidak jelas kriterianya berkaitan dengan tindakan pers
seperti apa saja yang dicakup oleh Pasal 5 ayat (1) dalam UU Pers. Hal ini
sudah disinggung dan dijelaskan di bagian awal bab ini.
Dengan demikian, jika timbul
pertanyaan bagaimana hokum menjawab rasa keadilan masyarakat yang terkena
dampak pemberitaan pers yang tidak benar? Apakah cukup adil dengan hanya
memberlakukan UU Pers? Jawabannya tentu berpulang pada mekanisme hokum yang
mengaturnya, dalam hal ini UU Pers.
Misalnya,
jika ada pihak yang merasa dirugikan akibat pemberitaan pers yang tergolong
berita bohong, ia dapat menggugat pers berdasarkan Pasal 18 ayat (2) khususnya
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) beserta Penjelasannya dengan
dianalogikan secara luas. Jika memang terbukti menyebarkan berita bohong, pers itu dapat dikenakan denda Rp 500
juta oleh pengadilan dan harus memulihkan nama baik pihak yang dirugikan,
melalui Hak jawab atau pernyataan maaf. Hanya saja tidak semua pihak sependapat
bahwa Pasal 5 ayat (1) beserta Penjelasannya juga mencakup soal berita bohong
di dalamnya.
14. PROSEDUR PENGADUAN KE DEWAN PERS
Selain untuk melindungi kemerdekaan pers, Dewan Pers juga berfungsi menetapkan dan
mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan
dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang
berhubungan dengan pemberitaan pers.
Untuk itu Dewan
Pers telah menyusun
prosedur pengaduan menyangkut delik pers sebagai berikut:
-
Dewan Pers menerima pengaduan masyarakat
menyangkut pelaksanaan Kode Etik
Jurnalistik atau kasus-kasus pemberitaan pers lainnya. Namun Dewan
Pers tidak memeriksa pengaduan yang sudah diajukan ke polisi atau pengadilan.
-
Pengaduan dapat dilakukan secara tertulis atau
datang ke Dewan Pers.
-
Pengadu wajib mencantumkan nama dan alamat lengkap
(nomor telepon, faksimil, email jika ada). Dan Pengaduan ditujukan kepada Dewan Pers, alamat
Gedung Dewan Pers Lantai VII, Jalan Kebon Sirih No. 32-34, Jakarta 10110.
Telepon: 021-3521488, faksimil: 021-3452030, Email: dewanpers@cbn.net.id.
-
Pihak yang diadukan adalah penanggung jawab media.
Dan Pengadu mengajukan keberatan terhadap berita yang
dianggap merugikan dirinya, lembaganya atau masyarakat.
-
Pengaduan terhadap media cetak, lembaga penyiaran,
dan media internet menyebutkan nama media, tanggal edisi penerbitan/ publikasi dan judul tulisan/program siaran,
deskripsi foto dan ilustrasi yang dipersoalkan dengan melampirkan dokumen atau
data pendukung.
-
Pengaduan dapat disampaikan untuk materi
jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan selama-lamanya 2 (dua) bulan sebelumnya, kecuali untuk kasus khusus
yang menyangkut kepentingan umum. Dan Pengadu
sedapat mungkin berhubungan langsung dengan Dewan Pers. Kehadiran kuasa pengadu
dapat diterima jika dilengkapi surat kuasa yang sah.
-
Pengaduan gugur apabila pengadu tidak memenuhi dua kali panggilan Dewan Pers. Pengaduan
tersebut tidak dapat diajukan kembali. Namun Jika
pihak yang diadukan sudah dua kali
dipanggil tidak datang, Dewan Pers tetap memproses pemeriksaan.
-
Setelah menerima pengaduan, Dewan Pers mengadakan
rapat untuk membahas pengaduan. Dalam menangani pengaduan, Dewan Pers dapat
memanggil dan memeriksa pengadu dan yang diadukan.
-
Dewan Pers dapat menyelesaikan pengaduan tertentu
melalui surat-menyurat. Dalam menangani pengaduan, Dewan Pers dapat meminta
pendapat pakar.
-
Dewan Pers mengupayakan penyelesaian melalui
musyawarah untuk mufakat yang dituangkan dalam pernyataan perdamaian. Dan Jika musyawarah tidak mencapai mufakat, Dewan Pers
tetap melanjutkan proses pemeriksaan untuk mengambil keputusan.
-
Keputusan
Dewan Pers berupa Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) ditetapkan melalui
Rapat Pleno. Pemberitahuan Keputusan Pernyataan Penilaian dan
Rekomendasi dari Dewan Pers disampaikan kepada para pihak yang bersengketa dan
bersifat terbuka.
-
Perusahaan pers yang diadukan wajib melaksanakan
dan memuat atau menyiarkan Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi Dewan Pers di
media bersangkutan. Jika
Perusahaan Pers tidak mematuhi Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi, Dewan Pers
akan mengeluarkan pernyataan terbuka khusus untuk itu.
STANDAR
KOPETENSI WARTAWAN (SKW)
1. PENGERTIAN
Standar adalah patokan baku yang menjadi
pegangan ukuran dan dasar. Standar juga
berarti model bagi karakter unggulan.
Kompetensi adalah kemampuan
tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan,
dan keterampilan.
Wartawan
adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan
jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya.
Kompetensi wartawan
adalah kemampuan
wartawan untuk memahami, menguasai, dan
menegakkan profesi jurnalistik atau kewartawanan serta kewenangan untuk
menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu menyangkut kesadaran,
pengetahuan, dan keterampilan.
Standar
kompetensi wartawan adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/ keahlian,
dan sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas kewartawanan.
2. JENJANG KOMPETENSI WARTAWAN
1. Jenjang Kompetensi Wartawan Muda
2. Jenjang Kompetensi Wartawan Madya
3. Jenjang Kompetensi Wartawan Utama
Masing-masing jenjang dituntut memiliki kompetensi kunci terdiri atas:
1. Kompetensi Wartawan Muda: Melakukan kegiatan,
yakni meliputi ;
a.
Mengusulkan dan merencanakan liputan.
b.
Menerima dan melaksanakan penugasan.
c.
Mencari bahan liputan, termasuk informasi dan referensi
d.
Melaksanakan wawancara.
e.
Mengolah hasil liputan dan menghasilkan
karya jurnalistik.
f.
Mendokumentasikan hasil liputan dan membangun
basis data pribadi.
g.
Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.
2. Kompetensi Wartawan Madya: mengelola kegiatan,
yakni meliputi ;
a. Menyunting
karya jurnalistik wartawan.
b.
Mengkompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik.
c.
Memublikasikan berita layak siar.
d.
Memanfaatkan sarana kerja berteknologi
informasi.
e.
Merencanakan, mengoordinasikan dan
melakukan liputan berkedalaman
(indepth reporting).
f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan
investigasi (investigative reporting).
g. Menyusun
peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi di bidangnya.
h. Melakukan
evaluasi pemberitaan di bidangnya.
i. Membangun
dan memelihara jejaring dan lobi.
j. Memiliki
jiwa kepemimpinan.
3. Kompetensi Wartawan Utama: mengevaluasi dan
memodifikasi proses kegiatan yang meliputi kegiatan :
a.
Menyunting karya jurnalistik wartawan.
b.
Mengompilasi bahan liputan menjadi karya
jurnalistik.
c.
Mempublikasikan berita layak siar.
d.
Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi.
e.
Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan
liputan berkedalaman
(indepth reporting).
SIAPA YANG
BERHAK IKUT UJIAN KOMPETENSI ?
1. Peserta yang dapat menjalani uji kompetensi adalah
wartawan.
2. Wartawan yang belum
berhasil dalam uji kompetensi dapat mengulang pada kesempatan ujian berikutnya di lembaga-lembaga penguji kompetensi.
3.
Setelah
menjalani jenjang kompetensi wartawan muda sekurang-kurangnya tiga tahun, yang bersangkutan berhak
mengikuti uji kompetensi wartawan madya.
4. Setelah
menjalani jenjang kompetensi wartawan
madya sekurang-kurangnya dua tahun, yang bersangkutan
berhak mengikuti uji kompetensi wartawan utama.
5. Sertifikat
kompetensi berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas
jurnalistik.
6. Wartawan
pemegang sertifikat kompetensi yang tidak menjalankan tugas jurnalistik minimal selama dua tahun berturut-turut,
jika akan kembali menjalankan tugas jurnalistik, diakui berada di jenjang
kompetensi terakhir.
7. Hasil uji kompetensi ialah kompeten atau belum kompeten.
PEMIMPIN
REDAKSI
Pemimpin
redaksi menempati posisi strategis dalam perusahaan pers dan dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap
tingkat profesionalitas pers. Oleh karena itu, pemimpin redaksi haruslah yang telah
berada dalam jenjang kompetensi wartawan
utama dan memiliki pengalaman yang memadai. Kendati demikian, tidak boleh
ada ketentuan yang bersifat diskriminatif dan melawan
pertumbuhan alamiah yang menghalangi seseorang menjadi pemimpin redaksi. Wartawan yang dapat menjadi
pemimpin redaksi ialah mereka yang telah memiliki kompetensi wartawan
utama dan pengalaman kerja sebagai wartawan minimal 5 (lima) tahun.
PENANGGUNG
JAWAB
Sesuai
denganUU Pers, yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah penanggung
jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam posisi
itu penanggung jawab dianggap bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses dan hasil produksi serta konsekuensi hukum
perusahaannya. Oleh karena itu, penanggung jawab harus memiliki pengalaman dan kompetensi wartawan setara dengan pemimpin redaksi.
TOKOH PERS
Tokoh-tokoh
pers nasional yang reputasi dan karyanya
sudah diakui oleh masyarakat pers dan telah berusia 50 tahun saat standar kompetensi wartawan ini diberlakukan dapat ditetapkan telah
memiliki kompetensi wartawan. Penetapan ini
dilakukan oleh Dewan Pers.
Selambat-lambatnya
dua tahun sejak diberlakukannya Standar Kompetensi Wartawan ini, perusahaan pers dan organisasi wartawan yang telah
dinyatakan lulus verifikasi oleh Dewan Pers sebagai lembaga penguji Standar Kompetensi Wartawan harus menentukan
jenjang kompetensi para wartawan di perusahaan atau organisasinya.
PERATURAN
DEWAN PERS Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 Tentang STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN
ditetapkan pada tanggal 2 Februari 2010.
Okay then...
ReplyDeleteThis may sound really weird, and maybe even kind of "out there"....
WHAT if you could simply press "PLAY" and listen to a short, "miracle tone"...
And INSTANTLY attract MORE MONEY into your LIFE?
And I'm really talking about thousands... even MILLIONS of DOLLARS!!!
Sound too EASY? Think it couldn't possibly be REAL??
Well then, I'll be the one to tell you the news...
Sometimes the most significant blessings in life are also the EASIEST!!!
In fact, I will provide you with PROOF by letting you listen to a REAL "miracle abundance tone" I developed...
You simply hit "PLAY" and watch as your abundance angels fly into your life. it starts right away.
CLICK here now to experience this mysterious "Miracle Wealth Building Tone" as my gift to you!!!