Wednesday 30 August 2017

Sejarah Perkembangan Pers Demokrasi Liberal

Pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, kita menikmati masa bulan madu. Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan suratkabar baru. Pada masa ini, pers nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Bagi pers saat itu, tak ada tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan bendera merah-putih setinggi-tingginya.

Kehidupan Pers Masa Demokrasi Liberal Di Indonesia tahun 1950-1959

Pada saat-saat revolusi fisik itu pers Indonesia memunyai fungsi yang khas. Hasil karya para wartawan bukan lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di front. Berita-berita yang dibuat wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela kebenaran, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda yang disiarkan melalui berbagai media massa.

Lima tahun kemudian, atau mulai 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politik yang disukai dan didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas.

Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai.

Pada waktu itu, antara tahun 1950, yakni waktu pengakuan kedaulatan sampai 1959, muncul doktrin Demokrasi Terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan agar lawannya itu jatuh namanya dalam pandangan khalayak.

Era pers partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan pers diwajibkan memiliki Surat Ijin Terbit (SIT). Bahka menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian pers Indonesia. Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh penerbitan pers untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir praturan baru yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan G30S/PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas rakyat bersama TNI dan mahasiswa.
Kasus yang Menonjol Pada masa Demokrasi Liberal
1.      Peristiwa 17 Oktober 1952
Kasus ini dianggap penting karena kasus ini merupakan kasus pertama penyalahgunaan sistem pers liberal tahun 1950-an. Kasus ini bermula dari Markas Besar Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Angkatan Darat merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara). Perdebatan tersebut mengenai masalah-masalah ketentaraan. Puncak peristiwa tersebut terjadi ketika Mosi Manai Sophiaan (PNI) diterima.
Mosi tersebut bertujuan menyelidiki keadaan dalam ABRI umumnya dan Angkatan Darat khususnya, secara lebih seksama. Pada 17 Oktober 1952 terjadi pengobrak-abrikan gedung DPRS, sementara itu istana dikelilingi oleh pasukan yang mengarahkan meriam ke istana.
Oleh karena kejadian tersebut, terjadi polemik serius dan intens di kalangan pers. Terjadi pro dan kontra terhadap peristiwa tersebut. Bahkan menurut Soebagijo I.N. dalam buku PWI Jaya di Arena Masa, polemik yang terjadi berubah menjadi caci-maki bersifat pribadi yang bisa dianggap ekses kebebasan pers pada saat itu.
2.      Peristiwa Asa Bafagih 21 Agustus 1952
Asa Bafagih yang merupakan Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, menyebarkan berita berjudul Rentjana Gadji Baru untuk Pegawai Negeri. Minimum Rp 135,- dan Maksimum Rp 2700,-. Berita tersebut berasal dari sumber yang tidak mau disebutkan namanya. Dengan kata lain, harian Pemandangan menggunakan hak tolak dengan melindungi sumber berita yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Pada 7 Oktober 1952, Asa Bafagih dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk diperiksa. Pemeriksaan tersebut dikarenakan pengaduan Sekretaris Kementerian Urusan Pegawai yang menyatakan bahwa  berita tersebut membocorkan rahasia negara. Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan Kode Etik Jurnalistik PWI, Asa Bafagih tetap melindungi sumber informasinya dengan tidak mau menyebutkan namanya.
Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, Asa Bafagih kembali diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait pemberitaan yang kembali dianggap membocorkan rahasia negara. Berita tersebut berjudul 21 Perusahaan Industri di mana Mengetahui Menurut Rentjana Modal Asing Baru, Dapat Diusahakan Kalimat itulah yang menjadi judul berita utama surat kabar Pemandangan Nomor 142 Tahun 20 yang terbit pada Rabu, 18 Maret 1953.
Pemandangan mengatakan bahwa berita tersebut ditulis oleh koresponden kita sendiri. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa pemerintah Indonesia berniat membuka keran penanaman modal asing di 21 sektor industri.
Harian Pemandangan, di antaranya menyebutkan, perusahaan makanan-minuman kaleng-botol sampai industri farmasi serta pabrik mobil dan traktor. Pemandangan menuliskan berita tersebut didapat dari kalangan yang mengetahui.
Asa Bafagih pun kemudian diperiksa. Penyebab pemeriksaan Asa adalah surat dari Perdana Menteri Wilopo yang meminta Jaksa Agung memeriksa Asa, karena berita tersebut dianggap sebagai delik pers. Sekali lagi Asa Bafagih menggunakan hak tolak karena sumber yang memberikan informasi yang dimaksud meminta agar identitasnya dirahasiakan. Tuduhan itu sangat berat, terutama karena datangnya dari Perdana Menteri sendiri, kata Asa Bafagih seperti yang dikutip dari harian Pemandangan. Proses hukum kasus itu rupanya berlarut-larut. Asa Bafagih dipaksa bolak-balik ke Kejaksaan Agung sepanjang 1952-1953.
Pengurus Pusat PWI kemudian mengeluarkan petisi yang salah satunya berisi tuntutan agar penuntutan kasus Asa Bafagih dihentikan.Selain mengeluarkan petisi yang ditujukan ke Jaksa Agung, Pengurus Pusat PWI juga meminta Dewan Kehormatan PWI memberikan sikap atas kasus yang dihadapi oleh Asa Bafagih. Dewan Kehormatan PWI menimbang peristiwa tersebut pada 8 Agustus 1953. Kemudian Wakil Dewan Kehormatan PWI Mr. Moh. Natsir dan Roeslan Abdulgani sebagai anggota menyatakan supaya diadakan peninjauan kembali terhadap apa yang dimaksud pemerintah dengan rahasia negara dalam kasus ini.
Mengenai hak ingkar, walaupun pemerintah belum mengakui kode etik secara formal, sikap Asa telah diakui oleh kode etik. Seharusnya diambil kebijaksanaan dalam perkara ini sesuai tuntutan PWI Kring Jakarta. Selain itu, Natsir dan Roeslan memperingatkan pemerintah bahwa tuntutan tersebut dapat meregangkan hubungan pemerintah dengan pers. Dewan Kehormatan PWI dalam simpulannya mengingatkan bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya, sepenuhnya berpedoman kepada ketentuan kode etik.
Undang-Undang yang Dibuat Pada Masa Demokrasi Liberal di Indonesia
Pada tanggal 30 Desember 1949 Kerajaan Belanda dengan resmi mengakui kedaulatan RI atas seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat. Pada tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan Undang-Undang Dasar Sementara.
Pada tahun-tahun antara 1955-1958 dalam sejarah pers Indonesia belum terjadi pertarungan yang sedemikian hebatnya untuk mempertahankan kemerdekaan pers. Pada waktu itu dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1954, telah dicabut presbreidel-ordonantie 1931 atas pertimbangan bahwa ordonantie tersebut bertentangan dengan pasal 19 jo. 33 UUD Sementara RI. Akan tetapi dengan mempergunakan pasal-pasal Reglemen SOB (Staat van Oorlog en Beleg) ciptaan penjajahan Belanda, penguasa masih dapat bertindak terhadap pers. Banyak surat kabar yang dibreidel, banyak pula wartawan yang ditangkap dan ditahan.
Pada tanggal 1 Oktober 1958 Paperda (Penguasa Perang Daerah)  mewajibkan semua surat kabar dan majalah memiliki SIT. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk mengetatkan pengawasan terhadap pers.
Persyaratan untuk mendapatkan SIT diperkeras. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan lagi mengajukan permohonan SIT. Pada bagian bawah formulir perizinan SIT itu tercantum 19 pasal persyaratan yang mengandung janji penanggung jawan surat kabar tersebut jika diberi SIT, maka ia akan mendukung Manipol Usdek dan akan mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan dikeluarkan penguasa.
Beberapa bulan kemudian, mucul peraturan baru. Pada waktu itu pihak penguasa, Departemen Penerangan megeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu partai politik atau tiga organisasi massa. Dan surat kabar daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda, dengan organ resmi harus berafiliasi dengan nama organnya di Jakarta. Jadi, Trompet Massa di Medan harus berafiliasi dengan Sinar Harapan menjadi Sinar Harapan Edisi Sumatera Utara dengan huruf yang sama.
Tahun 1966 bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Memang setiap dictum dari suatu undang-undang bisa saja menimbulkan tafsiran-tafsiran yang berbeda antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, tetapi dengan adanya undang-undang setidaknya ada suatu pegangan untuk bertindak dan mengambil keputusan ketimbang tidak ada  undang-undang sama sekali.















BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Pers Indonesia pada masa demokrasi liberal tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politik yang disukai dan didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas.
Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.











Daftar Pustaka

Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung
Samsudjin Probohardono. Sejarah Pers dan Wartawan Surakarta . 1985


PERS MASA DEMOKRASI LIBERAL



LU UIN BARU.png



Disusun oleh :
RYAN EDI SAPUTRA

JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU

T.A 2012/2013

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur dengan tulus saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Taufik dan hidayahnya, makalah Sejarah Perkembangan Pers tentang Pers Demokrasi Liberal bisa hadir ditengah-tengah kita semua.
            Namun demikian, disadari bahwa sungguhpun makalah ini telah mengalami revisi dan penambahan, didalamnya masih banyak kekurangan.
Kekurangan ini akan diupayakan untuk terus disempurnakan sesuai kemampuan penulis. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnakan buku ini akan disambut dengan senang hati.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

                                                                                   






  Pekanbaru, 2 Mei 2013


                                                                                                                          Penullis


BAB I
PEMBAHASAN

Kehidupan Pers Masa Demokrasi Liberal Di Indonesia tahun 1950-1959
Pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, kita menikmati masa bulan madu. Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan suratkabar baru. Pada masa ini, pers nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan mengisi kemerdekaan. Bagi pers saat itu, tak ada tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan bendera merah-putih setinggi-tingginya.
Pada saat-saat revolusi fisik itu pers Indonesia memunyai fungsi yang khas. Hasil karya para wartawan bukan lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di front. Berita-berita yang dibuat wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela kebenaran, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda yang disiarkan melalui berbagai media massa.
Lima tahun kemudian, atau mulai 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politik yang disukai dan didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas.
Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai.
Pada waktu itu, antara tahun 1950, yakni waktu pengakuan kedaulatan sampai 1959, muncul doktrin Demokrasi Terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan agar lawannya itu jatuh namanya dalam pandangan khalayak.
Era pers partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan pers diwajibkan memiliki Surat Ijin Terbit (SIT). Bahka menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian pers Indonesia. Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran bagi seluruh penerbitan pers untuk mendapatkan Surat Ijin Terbit (SIT).
Lebih parah lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini, tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh partai politik dan organisasi massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir praturan baru yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan G30S/PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas rakyat bersama TNI dan mahasiswa.
Kasus yang Menonjol Pada masa Demokrasi Liberal
1.      Peristiwa 17 Oktober 1952
Kasus ini dianggap penting karena kasus ini merupakan kasus pertama penyalahgunaan sistem pers liberal tahun 1950-an. Kasus ini bermula dari Markas Besar Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Angkatan Darat merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara). Perdebatan tersebut mengenai masalah-masalah ketentaraan. Puncak peristiwa tersebut terjadi ketika Mosi Manai Sophiaan (PNI) diterima.
Mosi tersebut bertujuan menyelidiki keadaan dalam ABRI umumnya dan Angkatan Darat khususnya, secara lebih seksama. Pada 17 Oktober 1952 terjadi pengobrak-abrikan gedung DPRS, sementara itu istana dikelilingi oleh pasukan yang mengarahkan meriam ke istana.
Oleh karena kejadian tersebut, terjadi polemik serius dan intens di kalangan pers. Terjadi pro dan kontra terhadap peristiwa tersebut. Bahkan menurut Soebagijo I.N. dalam buku PWI Jaya di Arena Masa, polemik yang terjadi berubah menjadi caci-maki bersifat pribadi yang bisa dianggap ekses kebebasan pers pada saat itu.
2.      Peristiwa Asa Bafagih 21 Agustus 1952
Asa Bafagih yang merupakan Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, menyebarkan berita berjudul Rentjana Gadji Baru untuk Pegawai Negeri. Minimum Rp 135,- dan Maksimum Rp 2700,-. Berita tersebut berasal dari sumber yang tidak mau disebutkan namanya. Dengan kata lain, harian Pemandangan menggunakan hak tolak dengan melindungi sumber berita yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Pada 7 Oktober 1952, Asa Bafagih dipanggil oleh Kejaksaan Agung untuk diperiksa. Pemeriksaan tersebut dikarenakan pengaduan Sekretaris Kementerian Urusan Pegawai yang menyatakan bahwa  berita tersebut membocorkan rahasia negara. Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan Kode Etik Jurnalistik PWI, Asa Bafagih tetap melindungi sumber informasinya dengan tidak mau menyebutkan namanya.
Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, Asa Bafagih kembali diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait pemberitaan yang kembali dianggap membocorkan rahasia negara. Berita tersebut berjudul 21 Perusahaan Industri di mana Mengetahui Menurut Rentjana Modal Asing Baru, Dapat Diusahakan Kalimat itulah yang menjadi judul berita utama surat kabar Pemandangan Nomor 142 Tahun 20 yang terbit pada Rabu, 18 Maret 1953.
Pemandangan mengatakan bahwa berita tersebut ditulis oleh koresponden kita sendiri. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa pemerintah Indonesia berniat membuka keran penanaman modal asing di 21 sektor industri.
Harian Pemandangan, di antaranya menyebutkan, perusahaan makanan-minuman kaleng-botol sampai industri farmasi serta pabrik mobil dan traktor. Pemandangan menuliskan berita tersebut didapat dari kalangan yang mengetahui.
Asa Bafagih pun kemudian diperiksa. Penyebab pemeriksaan Asa adalah surat dari Perdana Menteri Wilopo yang meminta Jaksa Agung memeriksa Asa, karena berita tersebut dianggap sebagai delik pers. Sekali lagi Asa Bafagih menggunakan hak tolak karena sumber yang memberikan informasi yang dimaksud meminta agar identitasnya dirahasiakan. Tuduhan itu sangat berat, terutama karena datangnya dari Perdana Menteri sendiri, kata Asa Bafagih seperti yang dikutip dari harian Pemandangan. Proses hukum kasus itu rupanya berlarut-larut. Asa Bafagih dipaksa bolak-balik ke Kejaksaan Agung sepanjang 1952-1953.
Pengurus Pusat PWI kemudian mengeluarkan petisi yang salah satunya berisi tuntutan agar penuntutan kasus Asa Bafagih dihentikan.Selain mengeluarkan petisi yang ditujukan ke Jaksa Agung, Pengurus Pusat PWI juga meminta Dewan Kehormatan PWI memberikan sikap atas kasus yang dihadapi oleh Asa Bafagih. Dewan Kehormatan PWI menimbang peristiwa tersebut pada 8 Agustus 1953. Kemudian Wakil Dewan Kehormatan PWI Mr. Moh. Natsir dan Roeslan Abdulgani sebagai anggota menyatakan supaya diadakan peninjauan kembali terhadap apa yang dimaksud pemerintah dengan rahasia negara dalam kasus ini.
Mengenai hak ingkar, walaupun pemerintah belum mengakui kode etik secara formal, sikap Asa telah diakui oleh kode etik. Seharusnya diambil kebijaksanaan dalam perkara ini sesuai tuntutan PWI Kring Jakarta. Selain itu, Natsir dan Roeslan memperingatkan pemerintah bahwa tuntutan tersebut dapat meregangkan hubungan pemerintah dengan pers. Dewan Kehormatan PWI dalam simpulannya mengingatkan bahwa wartawan dalam menjalankan profesinya, sepenuhnya berpedoman kepada ketentuan kode etik.
Undang-Undang yang Dibuat Pada Masa Demokrasi Liberal di Indonesia
Pada tanggal 30 Desember 1949 Kerajaan Belanda dengan resmi mengakui kedaulatan RI atas seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat. Pada tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan Undang-Undang Dasar Sementara.
Pada tahun-tahun antara 1955-1958 dalam sejarah pers Indonesia belum terjadi pertarungan yang sedemikian hebatnya untuk mempertahankan kemerdekaan pers. Pada waktu itu dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1954, telah dicabut presbreidel-ordonantie 1931 atas pertimbangan bahwa ordonantie tersebut bertentangan dengan pasal 19 jo. 33 UUD Sementara RI. Akan tetapi dengan mempergunakan pasal-pasal Reglemen SOB (Staat van Oorlog en Beleg) ciptaan penjajahan Belanda, penguasa masih dapat bertindak terhadap pers. Banyak surat kabar yang dibreidel, banyak pula wartawan yang ditangkap dan ditahan.
Pada tanggal 1 Oktober 1958 Paperda (Penguasa Perang Daerah)  mewajibkan semua surat kabar dan majalah memiliki SIT. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk mengetatkan pengawasan terhadap pers.
Persyaratan untuk mendapatkan SIT diperkeras. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan lagi mengajukan permohonan SIT. Pada bagian bawah formulir perizinan SIT itu tercantum 19 pasal persyaratan yang mengandung janji penanggung jawan surat kabar tersebut jika diberi SIT, maka ia akan mendukung Manipol Usdek dan akan mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan dikeluarkan penguasa.
Beberapa bulan kemudian, mucul peraturan baru. Pada waktu itu pihak penguasa, Departemen Penerangan megeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu partai politik atau tiga organisasi massa. Dan surat kabar daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda, dengan organ resmi harus berafiliasi dengan nama organnya di Jakarta. Jadi, Trompet Massa di Medan harus berafiliasi dengan Sinar Harapan menjadi Sinar Harapan Edisi Sumatera Utara dengan huruf yang sama.
Tahun 1966 bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Memang setiap dictum dari suatu undang-undang bisa saja menimbulkan tafsiran-tafsiran yang berbeda antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, tetapi dengan adanya undang-undang setidaknya ada suatu pegangan untuk bertindak dan mengambil keputusan ketimbang tidak ada  undang-undang sama sekali.















BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Pers Indonesia pada masa demokrasi liberal tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politik yang disukai dan didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas.
Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.











Daftar Pustaka

Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung
Samsudjin Probohardono. Sejarah Pers dan Wartawan Surakarta . 1985


0 komentar:

Post a Comment