Pada
tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, kita menikmati masa bulan madu.
Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan suratkabar baru. Pada masa ini, pers
nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai
pers perjuangan. Orientasi mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan
mengisi kemerdekaan. Bagi pers saat itu, tak ada
tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan bendera
merah-putih setinggi-tingginya.
Pada
saat-saat revolusi fisik itu pers Indonesia memunyai
fungsi yang khas. Hasil karya para wartawan bukan
lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna
bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang
berjuang di front. Berita-berita yang dibuat wartawan
bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela kebenaran, tetapi sekaligus sebagai
alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda
yang disiarkan melalui berbagai media massa.
Lima tahun
kemudian, atau mulai 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis.
Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong
atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisipan.
Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru
bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politik
yang disukai dan didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai
bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai
induk semang dan buka bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus
dan ingin diketahui masyaraakt luas.
Dalam era
ini pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian.
Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan
kepada kemenangan untuk para pejabat partai.
Pada waktu
itu, antara tahun 1950, yakni waktu pengakuan
kedaulatan sampai 1959, muncul doktrin Demokrasi Terpimpin yang kemudian disusul
dengan ajaran Manipol Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci
maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan agar lawannya itu jatuh namanya dalam
pandangan khalayak.
Era pers
partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak
Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan
pers diwajibkan memiliki Surat Ijin Terbit (SIT).
Bahka menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian
pers Indonesia. Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat
Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran
bagi seluruh penerbitan pers untuk mendapatkan
Surat Ijin Terbit (SIT).
Lebih parah
lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi
politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini,
tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh partai politik dan organisasi
massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir praturan baru
yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang
hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan
G30S/PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas rakyat bersama TNI dan mahasiswa.
Kasus yang Menonjol Pada masa Demokrasi Liberal
1. Peristiwa 17 Oktober 1952
Kasus ini
dianggap penting karena kasus ini merupakan kasus pertama penyalahgunaan sistem
pers liberal tahun 1950-an. Kasus ini bermula dari
Markas Besar Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Angkatan Darat
merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di
DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara). Perdebatan tersebut mengenai masalah-masalah
ketentaraan. Puncak peristiwa tersebut terjadi ketika Mosi Manai Sophiaan (PNI)
diterima.
Mosi
tersebut bertujuan menyelidiki keadaan dalam ABRI
umumnya dan Angkatan Darat khususnya, secara lebih seksama. Pada 17 Oktober
1952 terjadi pengobrak-abrikan gedung DPRS, sementara
itu istana dikelilingi oleh pasukan yang mengarahkan meriam ke istana.
Oleh karena
kejadian tersebut, terjadi polemik serius dan
intens di kalangan pers. Terjadi pro dan kontra
terhadap peristiwa tersebut. Bahkan menurut
Soebagijo I.N. dalam buku PWI Jaya di Arena Masa,
polemik yang terjadi berubah menjadi caci-maki bersifat pribadi yang bisa dianggap
ekses kebebasan pers pada saat itu.
2. Peristiwa Asa Bafagih 21 Agustus 1952
Asa Bafagih
yang merupakan Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, menyebarkan berita berjudul
”Rentjana Gadji Baru untuk Pegawai Negeri.
Minimum Rp 135,- dan Maksimum Rp 2700,-”. Berita tersebut berasal dari sumber yang tidak
mau disebutkan namanya. Dengan kata lain, harian
Pemandangan menggunakan hak tolak dengan melindungi sumber berita yang meminta
identitasnya dirahasiakan.
Pada 7
Oktober 1952, Asa Bafagih dipanggil oleh Kejaksaan
Agung untuk diperiksa. Pemeriksaan tersebut
dikarenakan pengaduan Sekretaris Kementerian Urusan Pegawai yang menyatakan bahwa berita tersebut membocorkan rahasia negara.
Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan Kode Etik
Jurnalistik PWI, Asa Bafagih tetap melindungi
sumber informasinya dengan tidak mau menyebutkan namanya.
Pemimpin
Redaksi harian Pemandangan, Asa Bafagih kembali diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait
pemberitaan yang kembali dianggap membocorkan rahasia negara. Berita tersebut berjudul
”21 Perusahaan Industri di mana Mengetahui
Menurut Rentjana Modal Asing Baru, Dapat Diusahakan” Kalimat itulah yang menjadi judul berita utama surat
kabar Pemandangan Nomor 142 Tahun 20 yang terbit pada
Rabu, 18 Maret 1953.
Pemandangan
mengatakan bahwa berita tersebut ditulis oleh “koresponden kita
sendiri”. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa pemerintah
Indonesia berniat membuka keran penanaman modal asing di 21 sektor industri.
Harian
Pemandangan, di antaranya menyebutkan, perusahaan makanan-minuman kaleng-botol
sampai industri farmasi serta pabrik mobil dan
traktor. Pemandangan menuliskan berita tersebut didapat dari “kalangan yang mengetahui”.
Asa Bafagih
pun kemudian diperiksa. Penyebab pemeriksaan Asa adalah surat dari Perdana Menteri
Wilopo yang meminta Jaksa Agung memeriksa Asa, karena berita tersebut dianggap sebagai
delik pers. Sekali lagi Asa Bafagih menggunakan hak
tolak karena sumber yang memberikan informasi yang dimaksud meminta agar
identitasnya dirahasiakan. ”Tuduhan
itu sangat berat, terutama karena datangnya dari Perdana Menteri sendiri,”
kata Asa Bafagih seperti yang dikutip dari harian Pemandangan.
Proses hukum kasus itu rupanya berlarut-larut. Asa Bafagih dipaksa bolak-balik ke Kejaksaan
Agung sepanjang 1952-1953.
Pengurus
Pusat PWI kemudian mengeluarkan petisi yang salah satunya berisi tuntutan agar penuntutan
kasus Asa Bafagih dihentikan.Selain mengeluarkan
petisi yang ditujukan ke Jaksa Agung, Pengurus Pusat PWI juga meminta Dewan
Kehormatan PWI memberikan sikap atas kasus yang
dihadapi oleh Asa Bafagih. Dewan Kehormatan PWI menimbang peristiwa tersebut
pada 8 Agustus 1953. Kemudian Wakil Dewan Kehormatan
PWI Mr. Moh. Natsir dan Roeslan Abdulgani sebagai anggota menyatakan supaya
diadakan peninjauan kembali terhadap apa yang
dimaksud pemerintah dengan ”rahasia negara” dalam kasus ini.
Mengenai
hak ingkar, walaupun pemerintah belum mengakui kode etik secara formal, sikap Asa
telah diakui oleh kode etik. Seharusnya diambil
kebijaksanaan dalam perkara ini sesuai tuntutan PWI
Kring Jakarta. Selain itu, Natsir dan Roeslan
memperingatkan pemerintah bahwa tuntutan tersebut dapat meregangkan hubungan pemerintah
dengan pers. Dewan Kehormatan PWI dalam simpulannya mengingatkan bahwa wartawan
dalam menjalankan profesinya, sepenuhnya berpedoman kepada ketentuan kode etik.
Undang-Undang yang Dibuat Pada Masa
Demokrasi Liberal di Indonesia
Pada
tanggal 30 Desember 1949 Kerajaan Belanda dengan resmi mengakui kedaulatan RI atas
seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat.
Pada tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi
pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan
dengan Undang-Undang Dasar Sementara.
Pada
tahun-tahun antara 1955-1958 dalam sejarah pers
Indonesia belum terjadi pertarungan yang sedemikian hebatnya untuk mempertahankan
kemerdekaan pers. Pada waktu itu dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1954,
telah dicabut presbreidel-ordonantie 1931 atas
pertimbangan bahwa ordonantie tersebut bertentangan
dengan pasal 19 jo. 33 UUD Sementara RI. Akan tetapi dengan mempergunakan
pasal-pasal Reglemen SOB (Staat van Oorlog en Beleg) ciptaan penjajahan Belanda,
penguasa masih dapat bertindak terhadap pers. Banyak surat kabar yang dibreidel,
banyak pula wartawan yang ditangkap dan ditahan.
Pada
tanggal 1 Oktober 1958 Paperda (Penguasa Perang
Daerah) mewajibkan semua surat kabar dan
majalah memiliki SIT. Sesudah Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk mengetatkan
pengawasan terhadap pers.
Persyaratan
untuk mendapatkan SIT diperkeras. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan lagi mengajukan
permohonan SIT. Pada bagian bawah formulir perizinan SIT itu tercantum 19 pasal
persyaratan yang mengandung janji penanggung jawan surat kabar tersebut jika diberi
SIT, maka ia akan mendukung Manipol Usdek dan akan
mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan dikeluarkan penguasa.
Beberapa
bulan kemudian, mucul peraturan baru. Pada waktu itu
pihak penguasa, Departemen Penerangan megeluarkan peraturan yang menyatakan
bahwa surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu partai politik atau tiga organisasi
massa. Dan surat kabar daerah yang semula masih
dibenarkan memakai nama berbeda, dengan organ resmi harus berafiliasi dengan
nama organnya di Jakarta. Jadi, Trompet Massa
di Medan harus berafiliasi dengan Sinar Harapan
menjadi Sinar Harapan Edisi Sumatera Utara dengan
huruf yang sama.
Tahun 1966
bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah
dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Memang setiap dictum dari suatu undang-undang
bisa saja menimbulkan tafsiran-tafsiran yang
berbeda antara pihak yang satu dengan pihak yang lain,
tetapi dengan adanya undang-undang setidaknya ada suatu pegangan untuk bertindak
dan mengambil keputusan ketimbang tidak ada
undang-undang sama sekali.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Pers Indonesia
pada masa demokrasi liberal tergoda
dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai
corong atau terompet partai-partai politik besar.
Inilah yang disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk
menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti
paratai politik yang disukai dan didukungnya.
Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik
sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput
dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas.
Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam
makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan
demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya
membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah
yang akan datang menjadi lebih baik lagi.
Daftar
Pustaka
Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung
Samsudjin Probohardono. Sejarah Pers dan
Wartawan Surakarta . 1985
PERS MASA DEMOKRASI
LIBERAL
Disusun
oleh :
RYAN EDI SAPUTRA
JURUSAN
KOMUNIKASI
FAKULTAS
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SULTAN
SYARIF KASIM
RIAU
T.A
2012/2013
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Puji
syukur dengan tulus saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Taufik dan
hidayahnya, makalah Sejarah Perkembangan Pers tentang
Pers Demokrasi Liberal bisa hadir ditengah-tengah kita semua.
Namun demikian, disadari bahwa
sungguhpun makalah ini telah mengalami revisi dan penambahan, didalamnya masih
banyak kekurangan.
Kekurangan
ini akan diupayakan untuk terus disempurnakan sesuai kemampuan penulis. Untuk
itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnakan buku ini akan disambut
dengan senang hati.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Pekanbaru, 2 Mei 2013
Penullis
BAB I
PEMBAHASAN
Kehidupan Pers Masa Demokrasi Liberal Di
Indonesia tahun 1950-1959
Pada
tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, kita menikmati masa bulan madu.
Di Jakarta dan di berbagai kota, bermunculan suratkabar baru. Pada masa ini, pers
nasional bisa disebut menunjukkan jati dirinya sebagai
pers perjuangan. Orientasi mereka hanya pada bagaimana mengamankan dan
mengisi kemerdekaan. Bagi pers saat itu, tak ada
tugas yang paling mulia kecuali mengibarkan bendera
merah-putih setinggi-tingginya.
Pada
saat-saat revolusi fisik itu pers Indonesia memunyai
fungsi yang khas. Hasil karya para wartawan bukan
lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna
bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang
berjuang di front. Berita-berita yang dibuat wartawan
bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela kebenaran, tetapi sekaligus sebagai
alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda
yang disiarkan melalui berbagai media massa.
Lima tahun
kemudian, atau mulai 1950, pers Indonesia tergoda dan hanyut dalam dunia politik praktis.
Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai corong
atau terompet partai-partai politik besar. Inilah yang disebut era pers partisipan.
Artinya, pers dengan sadar memilih untuk menjadi juru
bicara sekaligus berperilaku seperti paratai politik
yang disukai dan didukungnya. Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai
bebas untuk memilih salah satu partai politik sebagai
induk semang dan buka bebas untuk meliput dan melaporkan apa saja yang harus
dan ingin diketahui masyaraakt luas.
Dalam era
ini pers Indonesia terjebak dalam pola sektarian.
Secara filosofis, pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan
kepada kemenangan untuk para pejabat partai.
Pada waktu
itu, antara tahun 1950, yakni waktu pengakuan
kedaulatan sampai 1959, muncul doktrin Demokrasi Terpimpin yang kemudian disusul
dengan ajaran Manipol Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci
maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan agar lawannya itu jatuh namanya dalam
pandangan khalayak.
Era pers
partisan ternyata tidak berlangsung lama. Sejak
Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita. Setiap perusahaan
pers diwajibkan memiliki Surat Ijin Terbit (SIT).
Bahka menurut seorang pakar pers, 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal kematian
pers Indonesia. Pada tanggal inilah, Penguasa Darurat
Perang Daerah (Paperda) Jakarta Raya, menetapkan batas akhir pendaftaran
bagi seluruh penerbitan pers untuk mendapatkan
Surat Ijin Terbit (SIT).
Lebih parah
lagi, ketika setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi
politik atau organisasi massa. Akibat kebijakan ini,
tidak kurang dari 80 surat kabar pada waktu itu dimiliki oleh partai politik dan organisasi
massa. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudian lahir praturan baru
yang mempersempit ruang gerak para wartawan yang
hendak mengeluarkan pikiran dan pendapatnya. Klimaksnya adalah pemberontakan
G30S/PKI. Gerakan ini berhasil ditumpas rakyat bersama TNI dan mahasiswa.
Kasus yang Menonjol Pada masa Demokrasi Liberal
1. Peristiwa 17 Oktober 1952
Kasus ini
dianggap penting karena kasus ini merupakan kasus pertama penyalahgunaan sistem
pers liberal tahun 1950-an. Kasus ini bermula dari
Markas Besar Angkatan Darat yang dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution. Angkatan Darat
merasa tidak senang dengan perdebatan yang terjadi di
DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara). Perdebatan tersebut mengenai masalah-masalah
ketentaraan. Puncak peristiwa tersebut terjadi ketika Mosi Manai Sophiaan (PNI)
diterima.
Mosi
tersebut bertujuan menyelidiki keadaan dalam ABRI
umumnya dan Angkatan Darat khususnya, secara lebih seksama. Pada 17 Oktober
1952 terjadi pengobrak-abrikan gedung DPRS, sementara
itu istana dikelilingi oleh pasukan yang mengarahkan meriam ke istana.
Oleh karena
kejadian tersebut, terjadi polemik serius dan
intens di kalangan pers. Terjadi pro dan kontra
terhadap peristiwa tersebut. Bahkan menurut
Soebagijo I.N. dalam buku PWI Jaya di Arena Masa,
polemik yang terjadi berubah menjadi caci-maki bersifat pribadi yang bisa dianggap
ekses kebebasan pers pada saat itu.
2. Peristiwa Asa Bafagih 21 Agustus 1952
Asa Bafagih
yang merupakan Pemimpin Redaksi harian Pemandangan, menyebarkan berita berjudul
”Rentjana Gadji Baru untuk Pegawai Negeri.
Minimum Rp 135,- dan Maksimum Rp 2700,-”. Berita tersebut berasal dari sumber yang tidak
mau disebutkan namanya. Dengan kata lain, harian
Pemandangan menggunakan hak tolak dengan melindungi sumber berita yang meminta
identitasnya dirahasiakan.
Pada 7
Oktober 1952, Asa Bafagih dipanggil oleh Kejaksaan
Agung untuk diperiksa. Pemeriksaan tersebut
dikarenakan pengaduan Sekretaris Kementerian Urusan Pegawai yang menyatakan bahwa berita tersebut membocorkan rahasia negara.
Akan tetapi, sesuai dengan ketentuan Kode Etik
Jurnalistik PWI, Asa Bafagih tetap melindungi
sumber informasinya dengan tidak mau menyebutkan namanya.
Pemimpin
Redaksi harian Pemandangan, Asa Bafagih kembali diperiksa oleh Kejaksaan Agung terkait
pemberitaan yang kembali dianggap membocorkan rahasia negara. Berita tersebut berjudul
”21 Perusahaan Industri di mana Mengetahui
Menurut Rentjana Modal Asing Baru, Dapat Diusahakan” Kalimat itulah yang menjadi judul berita utama surat
kabar Pemandangan Nomor 142 Tahun 20 yang terbit pada
Rabu, 18 Maret 1953.
Pemandangan
mengatakan bahwa berita tersebut ditulis oleh “koresponden kita
sendiri”. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa pemerintah
Indonesia berniat membuka keran penanaman modal asing di 21 sektor industri.
Harian
Pemandangan, di antaranya menyebutkan, perusahaan makanan-minuman kaleng-botol
sampai industri farmasi serta pabrik mobil dan
traktor. Pemandangan menuliskan berita tersebut didapat dari “kalangan yang mengetahui”.
Asa Bafagih
pun kemudian diperiksa. Penyebab pemeriksaan Asa adalah surat dari Perdana Menteri
Wilopo yang meminta Jaksa Agung memeriksa Asa, karena berita tersebut dianggap sebagai
delik pers. Sekali lagi Asa Bafagih menggunakan hak
tolak karena sumber yang memberikan informasi yang dimaksud meminta agar
identitasnya dirahasiakan. ”Tuduhan
itu sangat berat, terutama karena datangnya dari Perdana Menteri sendiri,”
kata Asa Bafagih seperti yang dikutip dari harian Pemandangan.
Proses hukum kasus itu rupanya berlarut-larut. Asa Bafagih dipaksa bolak-balik ke Kejaksaan
Agung sepanjang 1952-1953.
Pengurus
Pusat PWI kemudian mengeluarkan petisi yang salah satunya berisi tuntutan agar penuntutan
kasus Asa Bafagih dihentikan.Selain mengeluarkan
petisi yang ditujukan ke Jaksa Agung, Pengurus Pusat PWI juga meminta Dewan
Kehormatan PWI memberikan sikap atas kasus yang
dihadapi oleh Asa Bafagih. Dewan Kehormatan PWI menimbang peristiwa tersebut
pada 8 Agustus 1953. Kemudian Wakil Dewan Kehormatan
PWI Mr. Moh. Natsir dan Roeslan Abdulgani sebagai anggota menyatakan supaya
diadakan peninjauan kembali terhadap apa yang
dimaksud pemerintah dengan ”rahasia negara” dalam kasus ini.
Mengenai
hak ingkar, walaupun pemerintah belum mengakui kode etik secara formal, sikap Asa
telah diakui oleh kode etik. Seharusnya diambil
kebijaksanaan dalam perkara ini sesuai tuntutan PWI
Kring Jakarta. Selain itu, Natsir dan Roeslan
memperingatkan pemerintah bahwa tuntutan tersebut dapat meregangkan hubungan pemerintah
dengan pers. Dewan Kehormatan PWI dalam simpulannya mengingatkan bahwa wartawan
dalam menjalankan profesinya, sepenuhnya berpedoman kepada ketentuan kode etik.
Undang-Undang yang Dibuat Pada Masa
Demokrasi Liberal di Indonesia
Pada
tanggal 30 Desember 1949 Kerajaan Belanda dengan resmi mengakui kedaulatan RI atas
seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian Barat.
Pada tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi
pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan
dengan Undang-Undang Dasar Sementara.
Pada
tahun-tahun antara 1955-1958 dalam sejarah pers
Indonesia belum terjadi pertarungan yang sedemikian hebatnya untuk mempertahankan
kemerdekaan pers. Pada waktu itu dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1954,
telah dicabut presbreidel-ordonantie 1931 atas
pertimbangan bahwa ordonantie tersebut bertentangan
dengan pasal 19 jo. 33 UUD Sementara RI. Akan tetapi dengan mempergunakan
pasal-pasal Reglemen SOB (Staat van Oorlog en Beleg) ciptaan penjajahan Belanda,
penguasa masih dapat bertindak terhadap pers. Banyak surat kabar yang dibreidel,
banyak pula wartawan yang ditangkap dan ditahan.
Pada
tanggal 1 Oktober 1958 Paperda (Penguasa Perang
Daerah) mewajibkan semua surat kabar dan
majalah memiliki SIT. Sesudah Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk mengetatkan
pengawasan terhadap pers.
Persyaratan
untuk mendapatkan SIT diperkeras. Semua penerbit pada tahun 1960 diwajibkan lagi mengajukan
permohonan SIT. Pada bagian bawah formulir perizinan SIT itu tercantum 19 pasal
persyaratan yang mengandung janji penanggung jawan surat kabar tersebut jika diberi
SIT, maka ia akan mendukung Manipol Usdek dan akan
mematuhi pedoman-pedoman yang telah dan akan dikeluarkan penguasa.
Beberapa
bulan kemudian, mucul peraturan baru. Pada waktu itu
pihak penguasa, Departemen Penerangan megeluarkan peraturan yang menyatakan
bahwa surat kabar atau majalah harus didukung oleh satu partai politik atau tiga organisasi
massa. Dan surat kabar daerah yang semula masih
dibenarkan memakai nama berbeda, dengan organ resmi harus berafiliasi dengan
nama organnya di Jakarta. Jadi, Trompet Massa
di Medan harus berafiliasi dengan Sinar Harapan
menjadi Sinar Harapan Edisi Sumatera Utara dengan
huruf yang sama.
Tahun 1966
bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah
dikeluarkannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Memang setiap dictum dari suatu undang-undang
bisa saja menimbulkan tafsiran-tafsiran yang
berbeda antara pihak yang satu dengan pihak yang lain,
tetapi dengan adanya undang-undang setidaknya ada suatu pegangan untuk bertindak
dan mengambil keputusan ketimbang tidak ada
undang-undang sama sekali.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Pers Indonesia
pada masa demokrasi liberal tergoda
dan hanyut dalam dunia politik praktis. Mereka lebih banyak memerankan diri sebagai
corong atau terompet partai-partai politik besar.
Inilah yang disebut era pers partisipan. Artinya, pers dengan sadar memilih untuk
menjadi juru bicara sekaligus berperilaku seperti
paratai politik yang disukai dan didukungnya.
Kebebasan pers,di sini diartikan sebagai bebas untuk memilih salah satu partai politik
sebagai induk semang dan buka bebas untuk meliput
dan melaporkan apa saja yang harus dan ingin diketahui masyaraakt luas.
Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam
makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan
demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya
membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah
yang akan datang menjadi lebih baik lagi.
Daftar
Pustaka
Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung
Samsudjin Probohardono. Sejarah Pers dan
Wartawan Surakarta . 1985
0 komentar:
Post a Comment