Thursday 10 August 2017

Sejarah Pers Masa Orde Baru

foto : Ilustrasi Pers Masa Orde Baru

Setelah sebelumnya penulis membahas sejarah pers masa Tionghoa kini penulis coba membahas sedikit tentang pers masa orde baru. 

Media massa adalah hal yang sangat menentukan kehidupan manusia di berbagai aspek, termasuk dalam berbangsa dan bernegara. Pers sebagai salah satu bagian dari media memiliki peranan penting dalam membangun opini masyarakat (opini publik). Antonio Gramsci, seorang Marxis dan pendiri Partai Komunis Italia, berkata-kata tentang hegemoni sebagai “perangkat lunak” yang dimiliki kelas penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah “kepemimpinan moral dan intelektual”. Melalui agama, pendidikan, surat kabar, dan sebagainya, para produsen ideologi kelas penguasa membentuk sentimen moral dan cara berpikir kelas yang dikuasai. 

Dengan demikian, kelas yang dikuasai (buruh dan rakyat pekerja) menerima begitu saja nilai-nilai moral, sistem pemaknaan, dan logika borjuis alias kelas penguasa. Dengan logika yang sama, tentu teori ini dapat digunakan untuk melawan kelas borjuis itu. 

Maka, negara-negara komunis yang mengedepankan kediktatoran proletariat, bahwa kesetaraan kelas merupakan tujuan akhir komunisme, berpendapat harus ada yang dominan; dalam hal ini Partai Komunis, dan adanya system otoritarian, dimana pers tidak dibiarkan berjalan tanpa adanya sensor dari penguasa (Partai Komunis), agar tujuan akhir tersebut dapat tercapai. 

Di Orde Baru, pemerintahan Soeharto, Kementerian Penerangan saat itu sangat mengekang kebebasan Pers yang sebetulnya sangat dijunjung tinggi oleh negara penyokong Soeharto yakni Amerika Serikat. Negara tersebut sangat menjamin demokrasi, bahkan sampai tertulis di Deklarasi Kemerdekaannya. Telah menjadi rahasia umum, hasil analisa beberapa orang, diantaranya Peter Dale Scott, Profesor Politik dari Universitas di Amerika Serikat menemukan bahwa jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto yang mengambinghitamkan PKI pada waktu itu adalah hasil dari permainan beberapa pihak dibelakangnya, salah satunya CIA-nya Amerika. 

Indonesia, pada waktu itu telah menjadi semacam medan pertempuran dari Perang Dingin antara dua negara adidaya, Uni Soviet dengan Komunismenya dan Amerika Serikat dengan liberalisme (dan kapitalisme)nya. 

Perkembangan Pers Masa Orde Baru 

Selama masa 4 tahun pertama pemerintahan Orde Baru, meski pemerintah menghadapi berbagai masalah stabilitas dan rehabilitasi keamanan, politik pemerintah dan ekonomi, telah diisi dengan langkah-langkah awal peletakan kerangka dasar bagi pembangunan pers Pancasila. Sebagai langkah awal dalam usaha merumuskan kehidupan pers nasional sesuai dengan dasar Negara Pancasila dan UUD 1945, adalah dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. XXXII/MPRS/1966 pada tanggal 6 Juli 1966. 

Kalangan pers menyambut keluarnya ketetapan MPRS tersebut dengan pencetusan Deklarasi Wartawan Indonesia, yang dihasilkan oleh konferensi Kerja PWI di Pasir Putih Jawa Timur pada tanggal 13-15 Oktober 1966. Setelah DPR berhasil merealisasikan UU No. 11/1966 sebagai UU Pokok Pers pada tanggal 12 Desember 1966, masalah selanjutnya adalah mengenai kesepakatan dalam penafsiran dari UU Pokok Pers tersebut, terutama masalah fungsi, kewajiban dan hak pers itu sendiri. Dalam usaha memantapkan penafsiran serta pelaksanaan UU Pokok Pers dalam praktiknya, dibentuklah Dewan Pers. 

Dewan Pers merupakan pendamping pemerintah untuk bersama-sama membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Tahap selanjutnya adalah tahap pemantapan menuju tahap pemapanan diri dalam pers nasional. Pada tahap ini upaya yang dilakukan adalah penerapan mekanisme interaksi positif antara pers, masyarakat dan pemerintah. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antar fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). 

Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers. Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Ini adalah contoh pers yang otoriter yang di kembangkan pada rezim orde baru. 

Di masa Orde Baru, khalayak kembali berperan pasif seperti di masa kemerdekaan. Hanya saja kondisi ini bukan dikarenakan minat intelektual masyarakat yang rendah, tetapi lebih disebabkan karena peran pemerintah yang dominan yang mengakibatkan masyarakat tidak dapat dengan bebas menyalurkan gagasan, kreasi, dan pikirannya melalui media. Peran media di masa Orde Baru sebenarnya sudah lebih aktif dibanding pada saat masa Orde Lama. 

Namun, lagi-lagi sistem pemerintahan penjajah masih diterapkan oleh pemerintahan Soeharto. Represi bahkan sudah dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru, orde yang menjanjikan keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya dituntut di pengadilan. 

Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen. Pada 1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel, melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). 

Pers dituduh telah “menjurus ke arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada perbuatan makar. 

Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya Pemberangusan terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya melalui telepon, dan diijinkan terbit kembali setelah masing-masing pemilik Koran tersebut meminta maaf kepada pemimpin nasional (Soeharto). 

Proses komunikasi berjalan dengan sangat selektif. Hal ini terlihat dengan adanya golongan yang sangat dominan di dalam proses komunikasi tersebut, yakni pemerintah. Pada era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.

Rumusan tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. 

Melalui hakekat dan fungsi itu Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab Istilah Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan dalam Pers Pancasila, tidak bisa terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan independensi dan fungsi kontrolnya. Berbagai pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada era ini lah muncul apa yang disebut–secara sinis—sebagai “budaya telepon”. 

Peringatan melalui telepon ini bisa dilakukan oleh siapa saja di kalangan aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran dan pembredelan. 

Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh pers.

Dari penjelasan diatas bisa kita simpulkan pada masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto, Kementerian Penerangan saat itu sangat mengekang kebebasan Pers yang sebetulnya sangat dijunjung tinggi oleh negara penyokong Soeharto yakni Amerika Serikat. Negara tersebut sangat menjamin demokrasi, bahkan sampai tertulis di Deklarasi Kemerdekaannya. 

Telah menjadi rahasia umum, hasil analisa beberapa orang, diantaranya Peter Dale Scott, Profesor Politik dari Universitas di Amerika Serikat menemukan bahwa jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto yang mengambinghitamkan PKI pada waktu itu adalah hasil dari permainan beberapa pihak dibelakangnya, salah satunya CIA-nya Amerika. Indonesia, pada waktu itu telah menjadi semacam medan pertempuran dari Perang Dingin antara dua negara adidaya, Uni Soviet dengan Komunismenya dan Amerika Serikat dengan liberalisme (dan kapitalisme)nya. 

sumber :

http://www.google.com/-perkembangan-pers-orde-lama.co//.... 
Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung

0 komentar:

Post a Comment