Tugas Terstruktur Dosen Pengampu
Sejarah Perkembangan Pers HASAN BASRIL,S.Sos
PERS MASA PENJAJAHAN JEPANG
Disusun
oleh :
RYAN EDI SAPUTRA
JURUSAN
KOMUNIKASI
FAKULTAS
DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SULTAN
SYARIF KASIM
RIAU
T.A
2012/2013
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Puji
syukur dengan tulus saya ucapkan kehadiran Allah
SWT, karena berkat Taufik dan hidayahnya, makalah Sejarah Perkembangan Pers tentang Pers Jepang bisa hadir ditengah-tengah kita semua.
Namun demikian, disadari bahwa
sungguhpun makalah ini telah mengalami revisi dan penambahan, didalamnya masih
banyak kekurangan.
Kekurangan
ini akan diupayakan untuk terus disempurnakan sesuai kemampuan penulis. Untuk
itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnakan buku ini akan disambut
dengan senang hati.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Pekanbaru, 13 April 2013
Penullis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
PERKEMBANGAN PERS DI
MASA
PENJAJAHAN JEPANG
Jepang menduduki
Indonesia kurang lebih 3.5 tahun.
Untuk meraih simpati rakyat Indonesia, Jepang
melakukan propaganda tentang Asia Timur
Raya. Namun, propaganda itu hanyalah demi
kejayaan Jepang belaka. Sebagai konsekuensinya,
seluruh sembur daya Indonesia diarahkan untuk kepentingan Jepang. Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintahan Jepang dan sifat
pro-Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu,
antara lain:
1. Asia Raya di
Jakarta.
2. Sinar Baru di
Semarang.
3. Suara Asia di
Surabaya.
4. Tjahaya di
Bandung.
Pers nasional masa
pendudukan Jepang memang mengalami
penderitaan dan pengekangan kebebasan
yang lebih daripada zaman Belanda. Namun,
ada beberapa keuntungan yang didapat oleh
para wartawan atau insan pers di indonesia yang
bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain sebagai
berikut:
1. Pengalaman yang
diperoleh para karyawan pers Indonesia
bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang
digunakan jauh lebih banyak daripada masa
pers zaman Belanda. Para karyawan pers mendapatkan
pengalaman banyak dalam menggunakan
berbagai fasilitas tersebut.
2. Penggunaan bahasa
Indonesia dalam pemberitaan
makin seering dan luas. Penjajah Jepang
berusaha menghapus bahasa Belanda dengan
kebijakan menggunakan bahasa Indonesia
dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini
sangat membantuk perkembangan bahasa Indonesia
yang nantinya juga menjadi bahasa nasional.
3. Adanya pengajaran
untuk rakyat agar berfikir kritis
terhadap berita yang disajikan oleh sumber-sumber
resmi Jepang. Selain itu, kekejaman
dan penderitaan yang dialami pada masa
pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin
bangsa memberikan semangat untuk melawan
penjajah.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pada masa pendudukan Jepang sebagian kaum wartawan Tionghoa-Melayu diantaranya Nio Yoe Lan (Sin Po) dan Injo Beng Goat (Keng Po) dimasukkan ke dalam kamp tahanan, bersama sejumlah anggota Volksraad, kaum intelektual dan juga sejumlah kaum usahawan keturunan Cina lainnya. Yang berhasil lolos adalah Kwee Kek Beng (Sin Po) yang
selama pendudukan Jepang bersembunyi di suatu tempat yang justru letaknya tidak jauh dari kantor
Kenpei (polisi militer Jepang) di Bandung, sampai
kalahnya Jepang.
Sementara itu pihak
Jepang sendiri sudah mempunyai
koran yaitu Tjahaja Selatan atas usaha Yanagi
di Surabaya, dengan redakturnya orang Indonesia,
Raden Mas Bintartie. Pernah juga diterbitkan
majalah Bende dengan modal Jepang pula,
tetapi tidak berusia lama. Yang agak berhasil ialah
suratkabar Sinar Selatan (Semarang) yang dipimpin
Itami Hiraki, mantan pegawai R. Ogawa, seorang
pengusaha toko obat. Kedudukannya kemudian
digantikan Mashoed Hardjokoesoemo.
Dan ini berjalan
hingga pasukan Jepang masuk ke Jawa
(1942). Yang lebih terkenal ialah S. Kubo yang
berusaha mendirikan suratkabar dengan modal Jepang; tetapi dalam perkembangannya justru gagal, dengan mengikutkan dua orang wartawan Indonesia terkemuka di zamannya, yaitu Saeroen dan Soediono Djojopranoto. Semula S. Kubo bersama rekannya telah berhasil menerbitkan suratkabar berbahasa Jepang, Java Nippo. Sewaktu timbul sengketa internal maka
S. Kubo mendirikan suratkabar sendiri bernama Nichiran Sogyo Shimbun, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tohindo Nippo. Pemerintah Hindia Belanda mencium bahwa Kubo berniat juga menerbitkan suratkabar dalam
bahasa Indonesia, di samping usahanya yang sudah berhasil, menerbitkan suratkabar Cina dengan huruf Cina yang mempergunakan tenaga redaktur Cina. Usaha Kubo hendak diperluas, mengusahakan penerbitan Indonesia dengan tenaga Indonesia pula. Yang dihubungi adalah Saeroen. Antara
keduanya kemudian tercapai persetujuan bahwa
yang bergerak Saeroen dan yang memodali pihak Jepang. Maka dibelilah percetakan
Tjahaja Pasundan milik Sasmita. Untuk menghilangkan kecurigaan pihak pemerintah (Hindia Belanda), maka Sasmita pun dibenarkan tetap menjadi pemimpin percetakan itu. Dicarilah tenaga
redaksi yang dipercayakan kepada Soediono
Djojopranoto; sedangkan korannya diberi nama Warta
Suratkabar yang berkantor di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Selang beberapa
waktu kemudian S.Kubo mendapat
kabar, bahwa proses pembelian percetakan
kurang beres, karena masih ada kekurangan
pembayaran, meskipun kepada Saeroen
telah diberikan uang seluruhnya. S. Kubo kemudian
minta nasehat kepada atasannya yang ternyata
adalah salah satu cabang atau bagian dari Kementerian
Luar Negeri Jepang. Kepada Kubo dianjurkan
agar melapor kepada Kejaksaan Tinggi Hindia
Belanda. Dengan adanya laporan Kubo itu maka
usaha pemerintah mengusut liku-liku Jepang dalam
usaha berpropaganda melalui pers di Indonesia
mendapat jalan. Dalam perkembangannya,
Saeroen ditahan, kemudian dijatuhi
hukuman karena terbukti kesalahannya. Dengan
adanya apa yang kemudian dikenal sebagai“kubo-affair” itu, gemparlah seluruh pers di Indonesia. Pers Belanda paling santer
menyiarkan peristiwa itu dan berulang kali mengingatkan adanya bahaya kuning yang akan datang dari Utara. Sementara itu pers Tionghoa-Melayu sikapnya terpecah, sebab, kala itu ada yang menganut faham pro Chiang Kai Shek, dan ada pula yang diam-diam yang memang pro Jepang.
Sedangkan pers
Indonesia sebagian besar menyuguhkan
berita “kubo affair” secara apa adanya. Usaha Jepang untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia dengan media massa tidak terhenti sampai di situ saja. Beberapa waktu sebelum Perang Pasifik pecah, dari Tokyo dengan gencar dan teratur tiap petang diadakan siaran radio.
Yang menjadi penyiarnya adalah Jusuf Hassan; dan
tiap kali sebelum penyiaran, dikumandangkan lagu Indonesia Raya. Begitu pula setelah perang
Pasifik pecah, sering di daerah Surakarta dan
Yogyakarta disebarkan selebaran-selebaran, mengajak
rakyat berontak terhadap pemerintah Belanda, karena saatnya kini sudah tiba. Yaitu dengan
kedatangan pasukan Jepang, sesuai dengan bunyi Ramalan\\ Jayabaya. Hanya saja dalam surat selebaran itu tidak disebutkan, bahwa “orang cebol kepalang berkulit kuning itu hanya seumur jagung diam
di Nusantara untuk kemudian pulang ke asalnya kembali”.
Setelah Jepang
berhasil menaklukkan pasukan Belanda
di Kalijati, 8 Pebruari 1942, langkah pertama
yang dilakukan dalam bidang media massa ialah
membiarkan buat sementara penerbitan suratkabar-suratkabar,
baik yang berbahasa Belanda,
Tionghoa-Melayu, Indonesia maupun yang berbahasa
daerah. Tidak terlalu lama kemudian, pemerintah
(militer) Jepang mengeluarkan pengumuman yang intinya“terlarang menerbitkan barang cetakan yang berhubung dengan pengumuman atau penerangan, baik yang berupa penerbitan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan maupun penerbitan dengan tidak tertentu waktunya, kecuali oleh badan-badan yang sudah mendapat izin”. Maka tutuplah semua penerbitan yang sudah ada. Koran yang
dibenarkan terbit paling awal di Jawa ialah Asia Raya
dengan Pemimpin Umum R. Soekardjo Wirjopranoto dan R.M. Winarno Hendronoto sebagai Pemimpin Redaksinya. Baru kemudian menyusul koran-koran lainnya, seperti Suara Asia (Surabaya) dengan
R. Toekoel Soerohadinoto sebagai Pemimpin Umum dan R. Abdulwahab Surowirono selaku Pemimpin Redaksi; Sinar Baru (Semarang) di bawah asuhan Abdulgafar Ismail dan Dr. Buntaran Martoatmodjo sebagai Pemimpin Umum. Kemudian keduanya digantikan oleh Parada Harahap; Sinar Matahari (Yogya) dengan R. Rudjito (Pemimpin Umum) dan R.M. Gondoyuwono (Pemimpin Redaksi); dan Tjahaja (Bandung) dengan Otto Iskandardinata sebagai Pemimpin Umum dan A. Hamid sebagai Pemimpin Redaksi. Sementara itu Antara masih dibenarkan beroperasi, tetapi namanya diganti dengan Yashima, yang kemudian diganti lagi menjadi Domei Bagian Indonesia. Selain nama-nama tadi, sejumlah wartawan
lainnya yang dibenarkan mengelola suratkabar ialah Adinegoro (Kita Sumatora Shimbun di Medan), Abdul Wahid (Atjeh Shimbun, Kotaraja), Madjid Usman (Padang Nippo, Padang), Nungtjik (Palembang Shimbun, Palembang), A.A. Hamidhan (Borneo Shimbun, Banjarmasin), Manai Sophian (Pewarta Serebesu, Makasar), O.H. Pantauw (Menado Shimbun), R.R. Paath (Borneo Barat Shimbun, Pontianak), Pattimaipau (Sinar
Matahari, Ambon) dan Tjokorde Ngurah (Bali Shimbun, Den Pasar).
Tidak semua koran terbit
tiap hari tetapi ada yang hanya dua atau tiga kali tiap minggu. Pada
tiap redaksi selalu ada orang Jepangnya yang
menjadi Shidokan atau Pemimpin Umum. Kaum wartawannya digiring ke dalam Jawa Shimbunsha Kai (Perhimpunan Wartawan Jawa), kaum senimannya dihimpun dalam Keimin Bunka Shidoosho. Diterbitkanlah triwulanan
Keboedajaan Timoer dan juga berkala Panggung Giat Gembira yang memuat kisah-kisah garapan Barisan Propaganda untuk dipentaskan di atas panggung sandiwara.
Juga Badan Pembantu
Perjurit mempunyai berkalanya
sendiri yaitu Pradjoerit, diasuh Madikin Wonohito
dan Itjiki sebagai Pengawasnya. Ada pula Djawa
Baroe yang terbit dalam bahasa Indonesia diselingi
bahasa Jepang dengan huruf Honji dan Katakana. Untuk kaum peranakan Cina di Jawa disediakan Kung Yung Pao, dengan Oei Tiang Tjoei sebaga Pemimpin Umum dan Soema Tjoe Sing sebagai Pemimpin Redaksi. Oei Tiang Tjoei (yang kemudian berganti nama menjadi Permana) sebelum Jepang datang mengemudikan Hong Po, dan di jaman pendudukan Jepang diangkat
menjadi anggota Chuo Sangi- In (Dewan Pertimbangan Pusat) oleh pemerintah. Majalah Pandji Pustaka yang sejak penjajahan Belanda diterbitkan Balai Pustaka tetap dibenarkan terbit; mula-mula mingguan baru kemudian dwi mingguan. Ini disebabkan untuk menghemat kertas, mengingat di zaman perang tidak ada impor kertas. Dalam perkembangannya, Pandji Pustaka juga dilikuidasi dan sebagai gantinya terbit Indonesia Merdeka, yang penerbitannya diusahakan oleh Jawa Hookoo Kai (Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa) sampai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pengasuh Pandji Pustaka berganti-ganti, dari Koesoema St. Pamuntjak, Armijn Pane, dan akhirnya W.J.S. Poerwodarminto. Sedangkan Indonesia Merdeka yang terbit hanya sekitar
empat bulan saja, diasuh oleh Andjar Soebijanto.
Sementara itu untuk
bacaan rakyat di desa-desa yang
masyarakatnya sebagian besar belum atau tidak
menguasai bahasa Indonesia, diterbitkan lembaran
koran untuk tiap keresidenan. Bahasanya bahasa
daerah (Sunda, Jawa, Madura). Edisi Sunda diawasi
Anwar Tjokroaminoto, sedangkan edisi Jawa
dan Madura diawasi Imam Soepardi. Kedudukan
Hoodoohan (bagian sensor) yang dibagi dalam
dua bagian sangat penting. Bagian Penyiaran
yang mengurus penyiaran-penyiaran pemerintah
dipimpin T. Itjiki dan Syamsuddin Sutan
Makmur. Bagian sensor, penilikan atas isi suratkabar,
majalah, buku dan lain sebagainya, dipimpin
Oejehara dan Mr. Elkana Tobing. Selain
itu juga diadakan Peraturan Pemerintah tentang
pelayanan terhadap wartawan terdiri dari 11 pasal. Pasal pertama menyebutkan, semua pegawai suratkabar, termasuk pegawai Tata Usaha, kecuali pegawai rendahan tidak
terhitung, disebut wartawan. Juga disebutkan, bahwa wartawan ada di bawah penilikan
pegawai-pegawai pemerintah
daerah masing-masing.
Pasal 8 dan 9
menetapkan hukuman bagi para wartawan
jika melanggar maksud pemerintah. Kewajiban
wartawan ialah semata-mata menyokong
usaha pemerintah, Jika ada wartawan yang
merintangi pekerjaan pemerintah, maka akan diambil
sikap yang sekeras-kerasnya. Terjadi
peristiwa penangkapan atas sejumlah wartawan.
Korban pertama adalah Mr. Sumanang karena
membiarkan korannya (Pemandangan) memuat
gambar Tenno Heika kaisar Jepang tertutup
oleh bulatan hinomaru (bendera Jepang). Juga
Mohammad Tabrani ditangkap, karena di zaman
Belanda dianggap menghasut R.H. Oned Djoenaedi
agar tidak menjual Percetakan Pemandangan
kepada pihak Jepang untuk menerbitkan
suratkabamya. Juga R.M. Winarno Hendronoto
ditangkap karena memasang bendera merah-putih
di depan mobilnya. Sedangkan di Malang,
Jawa Timur, wartawan Domei bernama Koesen
dibunuh Kenpei dengan tuduhan mendengarkan
siaran radio musuh. Ada yang berkisah,
karena dia menyembunyikan orang yang kebetulan
sedang dicari Jepang.
Begitu pula di
Kalimantan, sejumlah wartawan menjadi
korban keganasan penjajah Jepang. Wartawan
Anomputra di Kalimantan Barat dihukum mati
dengan tuduhan mengadakan gerakan dibawah tanah untuk menumbangkan pemerintah yang sah. Korban lainnya adalah Housman Babou, M. Hohman, Anang Acil dan Amir Bondan, semuanya di Banjarmasin. Sedangkan Smits, pemimpin Borneo Post dipenggal kepalanya dan jenazahnya dibuang ke sungai Martapura, ketika Jepang untuk kali pertama menduduki Banjarmasin.
Pada zaman ini pula,
perusahaan-perusahaan suratkabar
tergabung dalam Jawa Shimbun Kisha (Penerbit
Suratkabar Jawa). Secara bergantian kaum
wartawan dari berbagai kota dikumpulkan di Jakarta,
untuk mendapat latihan Semangat Nippon sekaligus
baris berbaris. Lama latihan sebulan, tetapi
belum begitu lama pelatihan itu berlangsung, Indonesia
merdeka. Kala itu bukan saja semua apa yang akan
dicetak (termasuk iklan) terlebih dahulu harus
diperiksa Hoodoohan (Badan Sensor), tetapi juga
oplaag-nya pun ditentukan oleh penguasa. Penduduk seluruh Indonesia di masa itu diperkirakan 60 juta, 30
juta di antaranya diam di Jawa. Untuk jumlah sekian itu, oplaag atau banyaknya penerbitan bersama dari semua suratkabar suratkabar (di Jawa)
tidak boleh melebihi 80.000. Sedangkan majalah mingguan keresidenan masing-masing tidak boleh melebihi 5.000 lembar.
Di samping kekejaman
dan pengekangan mengutarakan
pendapat di zaman Jepang kaum wartawan
Indonesia mendapat kesempatan meraih sesuatu
yang positif. Satu di antaranya ialah pengenalan
alat-alat modern, terutama dalam bidang
cetak mencetak. Di zaman Belanda, biasanya
percetakan tempat mencetak suratkabar Indonesia
masih mempergunakan handset. Huruf demi
huruf harus disusun, dan kata demi kata untuk
selanjutnya menjadi kalimat. Satu atau dua alinea
dari gabungan huruf itu lalu diikat, diberi tinta
di atasnya untuk menjadi proefdruk, contoh pencetakan
untuk dikoreksi. Bila pencetakan selesai,
maka huruf-huruf tadi dikembalikan ke tempat
semula, untuk dipergunakan keesokan harinya
bila hendak mencetak lagi.
Di zaman Jepang,
koran-koran bisa menggunakan mesin
dan percetakan yang semula dipakai oleh koran-koran
Belanda, yang tentunya jauh lebih modern
dan lebih canggih. Selain
itu, di zaman Jepang koran-koran harus menggunakan
bahasa Indonesia umum, dan dilarang
menggunakan bahasa Melayu-Tionghoa atau
bahasa Indonesia yang tidak lazim.
Perkembangan bahasa
Indonesia di zaman Jepang memang
bagus dan menggembirakan. Dalam hal ini kaum
wartawan Indonesia secara tidak langsun membantu
memberi jasa. Sejumlah kaum intelek Indonesia
dan Cina yang di zaman Belanda suka membaca
koran Belanda dan suka berbahasa Belanda
(juga di kalangan keluarga sendiri) terpaksa
membaca koran dan majalah bahasa Indonesia.
Juga di zaman
Jepang, kaum wartawan Indonesia meskipun
secara lahiriah terhambat mengutarakan rasa
pirasa hati serta pikiran, namun dalam kenyataannya
mereka masih selalu mampu menyebarluaskan
semangat kebangsaan, semangat untuk
hidup merdeka dan mandiri, tidak dijajah oleh
bangsa asing.
Anwar Tjokroaminoto
yang lebih dikenal dengan nama
samarannya Bang Bedjat sebagai penjaga pojok
Asia Raya pernah menurunkan tulisan lebih kurang
begini: “Awalan ‘se’ itu ada yang mengartikan
‘satu’. Jangan ditafsirkan neka-neka, bila
ada yang bilang Nippon-Indonesia sehidup semati”.
Konon, karena
tulisan pojoknya itu Bang Bedjat kemudian
tidak dibenarkan mengemudikan Asia Raya
lagi, dan kedudukannya digantikan orang lain. Indonesia
sudah merdeka, tetapi Jepang masih berkuasa.
Pada awal September 1945 terbitlah “koran gelap” yang banyak ditempelkan di pohon- pohon di pinggir jalan atau di dinding-dinding gedung. Berita Indonesia yang diusahakan oleh sejumlah mahasiswa dan pelajar sebagai imbangan dari terbitnya Berita Gunseikanbu,
koran Jepang yang khusus dicetak berisi pengumuman-pengumuman
pemerintah militer, setelah Jepang kalah
perang. Dalam perkembangannya, Berita Indonesia
terbit terus, meskipun sering berganti pimpinan
dan pemilik. Pemrakarsa terbitnya Berita Indonesia
disebut-sebut Soeraedi Tahsin, Sidi Moharmnad
Syaaf, Roesli Amran, Soeardi Tasrif dan
Anas Ma’roef. oharmnad
Syaaf, Roesli Amran, Soeardi Tasrif dan
Anas Ma’roef.
Sementara itu
komunitas Arab pada waktu yang sama
juga memiliki persnya sendiri, namun tidak begitu
menonjol sehingga kurang mendapat perhatian
khalayak. Oplaag-nya pun tidak besar dan
isinya terutama mengenai soal-soal yang menyangkut
keagamaan.
Pada masa-masa awal
penerbitan pribumi banyak memuat
hal-hal yang mengenai kebudayaan, agama,
hiburan dan sedikit perdagangan. Pada 1855
di Surakarta diterbitkan Bromartani, mingguan
berbahasa Jawa, diembani Carel Frederick
Winter jurubahasa dikeraton Solo, dan juga
Poespitomantjawarna yang diasuh oleh Winter
Jr. Kedua-duanya ditulis dalam bahasa Jawa halus
(kromo). Kemudian menyusul Djoeroemartani yang
diusahakan Groot Kolff & Co. yang beberapa tahun
kemudian atas perintah Sri Sunan namanya diubah
menjadi Bromartani, nama seperti yang pernah
diterbitkan oleh juru bahasa keraton yang kala
itu sudah wafat. Begitulah
kemudian di berbagai tempat bermunculan
penerbitan pribumi lainnya, sebagian diusahakan
Zending (golongan Protestan), juga oleh
kalangan nonpri dan kemudian sejalan dengan perkembangan
zaman, oleh orang-orang Indonesia sendiri;
terutama setelah timbulnya organisasi dan perkumpulan-perkumpulan
politik maupun sosial atau
keagamaan.
Sebagai pelopor
disebut-sebut Dr. Abdul Rivai dan Dr.
Wahidin Sudirohusodo. Dr. Rivai selama belajar di
Eropa, selalu mengirim tulisan untuk Bintang Hindia
dan kemudian di Bintang Timur. Dialah wartawan
Indonesia pertama yang menulis artikel- artikel
dari luar negeri. Isi tulisannya sering menghantam
kebijaksanaan Pemerintah yang dianggap
banyak merugikan rakyat. Dan juga menganjurkan
bangsanya agar suka menuntut ilmu seperti
orang Eropa.
Sedangkan Dr.
Wahidin dikenal sebagai “pemberi nama” kepada organisasi yang didirikan Soetomo dan kawan-kawan, Boedi Oetomo. Dia memimpin Retnodoemilah sejak 1900 yang semula didirikan dan diasuh oleh F.L. Winter, penerbitannya
dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa Ada pula yang menyebutkan, bahwa sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia adalah Landjumin Datuk Temenggung, yang mengemudikan majalah Tjahaja Hindia dan kemudian suratkabar
Neratja.
Menurut ukuran
zamannya, Neratja merupakan suratkabar
yang cukup modern; karena, selain merupakan
suratkabar milik bangsa Indonesia asli, juga
yang mulai memuat gambar-gambar foto, dengan
tata muka yang sudah meninggalkan tatacara
lama. Hal yang sangat langka pada masa itu.
Ada pula yang
mengatakan, bahwa Datuk Sutan Maharadja
pengasuh Utusan Melayu (Padang), yang
terbit 3 x seminggu, layak dianggap Bapak Jurnalistik,
setidak-tidaknya untuk wilayah Sumatera.Yang
jelas, atas bantuan Datuk Sutan Maharadjalah
maka bisa diterbitkan Sunting Melaju,
terbit sekali seminggu yang membawa tenar
nama pengasuhnya, Rohana Kuddus (lihat ema
Rohana Kuddus) dan Ratna Djuita sebaga redaktris.
Rohana Kuddus boleh disebut sebagai wartawati
pertama Indonesia dan namanya bisa dijajarkan
dengan R.A. Kartini di Jawa atau Dewi Sartika
(di daerah Priangan).
Di samping
artikel-artikel biasa Sunting Melaju yang
mempunyai moto “Suratkabar untuk kaum wanita
Minangkabau” itu juga memuat sejarah, biografi,
syair-syair dan iklan. Menarik
juga bahwa sebagian besar dari penulis karangan
untuk Sunting Melayu terdiri dari kaum perempuan
juga, yang diam di sekitar kota Padang.
Kaum Zending sebelum
itu sudah mempunyai medianya.
Biang Lala yang diasuh oleh guru/ pendeta
Stefanus Sandiman terbit pada 1867, disusul
Bintang Djohar (1873) dan lebih kurang pada
waktu yang bersamaan terbitlah di Menado Tjahaja
Siang yang kuat bertahan hingga 1927. Pers
Indonesia boleh dikatakan mulai berkembang setelah
kaum elit Indonesia merasa memerlukan alat
komunikasi, terutama sebagai akibat bertambahnya
sekolah-sekolah baik yang dibuka pemerintah
maupun oleh bangsa Indonesia sendiri. Terutama
lagi setelah berdirinya berbagai perkumpulan
dan organisasi, yang kemudian merasa
masing-masing memerlukan alat propaganda
atau corongnya sendiri. Empat organisasi
dan partai politik Indonesia yang memegang
peranan dalam perkembangan pers Indonesia
adalah Boedi Otomo, Sarekat Islam, de Indische
Partij dan PKI.
Setelah dua tahun
berdiri Boedi Oetomo berhasil mempunyai
organ yakni Darmo Kondho yang baru pada
1926 menjadi koran suratkabar. Mula-mula dianggap
bersuara lunak, kemudian dinilai agak keras.
Tenaga yang mengasuhnya berganti-ganti, satu
di antaranya adalah Raden Mas Soedarjo Tjokrosisworo,
wartawan terkemuka di zamannya. Dalam
perkembangannya, Darmo Kondho terbit dalam
dua edisi; edisi Jawa dan edisi Indonesia, masing-masing
bernama Pustaka Warti dan Pewarta
Oemoem. Setelah Boedi Oetomo fusi dengan
Partai Bangsa Indonesia menjadi Partai Indonesia
Raya (Parindra), semua suratkabar yang diasuhnya
diberi nama “Oemoem”. Di Surabaya ada
Soeara Oemoem, di Solo ada Pewarta Oemoem,
dan di Bandung, kemudian pindah ke Jakarta
Berita Oemoem.
Menjelang datangnya
Jepang Parinda merupakan satu-satunya
partai di Indonesia yang mempunyai media
propaganda yang paling banyak, baik yang menggunakan
bahasa daerah maupun yang menggunakan
bahasa Belanda. Sarekat
Islam, dengan organnya Oetoesan Hindia (Surabaya)
langsung diasuh oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto
dinilai sangat radikal, terutama tulisan-tulisan
dari pembantu-pembantunya seperti Haji
Agus Salim, Abdoel Moeis, Soerjopranoto, Samsi
dan lain-lain, dianggap sangat berpengaruh kepada
komunitasnya. Bahkan penerbitan di luar Jawa
sering pula mengambil oper tulisan dari Oetoesan
Hindia. Sayang sekali, karena sebagian pembaca
Oetoesan Hindia kurang rajin membayar uang
langganan, maka akhirnya suratkabar tadi terpaksa menghentikan penerbitannya
(1923).
Oetoesan Hindia
bukan satu-satunya organ Sarekat Islam. Di Semarang SI mempunyai Sinar Djawa
dan Pantjaran Warta di Jakarta, dan Saroetomo di Surakarta. Di Saroetomo ini
wartawan muda Mas Marco (Soemarko Kartodikromo) sering rnenulis artikel-artikel
yang menyebabkan dia sering berurusan dengan pengadilan. Kemudian dia mendirikan
majalah Doenia Bergerak yang membawa suara PKI dan yang menyebabkan dia akhirnya
dibuang ke Boven Digul, Papua.
PKI bukan hanya
memiliki Doenia Bergerak saja, tetapi juga Mowo (= arang membara); Hobromarkoto
(=Rata Bersinar) semuanya di Solo. Lalu Proletar (Surabaya), Petir dan Torpedo (Padang),
Goentoer (Medan), Halilintar (Pontianak), dan di beberapa tempat lainnya lagi.
Oplah media mereka
tidak terlalu besar dan biasanya hanya berumur beberapa nomor saja. De Indische
Partij, juga mempunyai penerbitannya sendiri, namun yang terkenal ialah Het
Tijdschrift dan De Expres. Kedua nama itupun tidak dapat dipisahkan dengan tiga
nama yang pernah mengasuh dan mengisinya yaitu Ernest Douwes Dekker, Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Dalam tahun 1913 ketiga insan itu dibuang
ke tiga tempat di Indonesia, tetapi ketiga-tiganya memilih untuk pergi ke
Nederland. Di sana pun mereka masih meneruskan menulis artikel untuk berbagai
penerbitan di Indonesia.
Di Nederland
sendiri, pada masa penjajahan itu, para mahasiswa Indonesia yang belajar di
sana menghimpun diri dalam Perhimpunan Indonesia, yang mempunyai organ
Indonesia Merdeka terbit dalam dua bahasa, Indonesia dan Belanda.
Meskipun oplaag-nya
sangat kecil, namun pengaruh Indonesia Merdeka cukup besar, terutama bagi para
pemimpin pergerakan serta kaum terpelajar yang ada di Indonesia yang kala itu
sebagian besar masih muda usia.
Perkembangan pers
Indonesia bisa dikatakan sejajar dengan perkembangan partai politik dan organisasi
komunitas yang memilikinya. Sekitar tahun 1930 Mohammad Tabrani merpakan
sedikit di antara pemuda Indonesia yang kala itu menuntut ilmu jurnalistik di
luar negeri (Jerman), menulis mengenai keadaan pers Indonesia. Dalam bukunya Ons
Wapen (Senjata Kita) dia mengulas, bahwa keadaan pers Indonesia masih
mengecewakan.
Pendidikan kaum
wartawannya sangat minim; cara pemberitaannya sangat primitif dan sering tidak dapat
dipercaya; kurang adanya rubrik seperti pandangan luar negeri, kesenian, perdagangan,
ilmu pengetahuan, sedangkan tatausahanya sangat amburadul. Sedangkan para
langganannya membayar uang abonemen tidak pada waktunya, dan teknik percetakan
pun kurang memadai.
Wartawan
(redaktur)nya dibayar sangat minim. Namun demikian, Tabrani berpendapat semua
itu masih bisa diperbaiki. Kala itu, selain Tabrani, ada dua pemuda Indonesia lainnya
yang menuntut ilmu jurnalistik di Jerman. Yaitu Djamaluddin Adinegoro dan Jahja
Jakub. Nama yang disebut akhir ini sesaat bergerak di bidang pers, tetapi kemudian
tidak pernah disebut-sebut lagi kegiatannya.
Kemudian ada juga
Herawati Latip yang lalu menjadi Herawati Diah, yang menuntut ilmu dalam bidang
jurnalistik di Columbia University New York, dan berhasil mencapai gelar
Bachelor of Arts.
Menjelang pecahnya
Perang Pasifik dia diminta pulang oleh orang tuanya, dan singgah di Manilla dan
diterima menjadi tamu Presiden Manuel Quezon. Selebihnya, masih ada beberapa
yang merupakan jebolan (drop out) NIAS, Nederlands Indische Artsen School
(Sekolah Kedokteran Hindia Belanda) di Surabaya, seperti Abdulwahab Djojowirono,
Ahmad Dermawan Lubis, Taher Tjindarboemi.
Juga ada Soemarto
Djojodihardjo yang kemudian berhasil mencapai gelar Sarjana Hukum, Winarno
Hendronoto yang pernah mengenyam pelajaran di Santi Niketan (Lahore), Mr R.M.
Sumanang Soeriowinoto dan Mr Soedjatmiko yang digantikannya mengemudikan redaksi
Pemandangan. Ada yang belajar ilmu jurnalistik di dalam negeri, seperti
Burhanuddin Muhammad Diah yang menjadi siswa Dr. Douwes
Dekker Setiabudhi di
Ksatriaan Instituut Bandung. Anwar Tjokroaminoto di Sekolah Guru (Hollands Inlandse
Kweekschool). Tetapi, pada umumnya kaum war Bandung.
Di Tapanuli pernah
pula diterbitkan majalah berbahasa Batak, Palito (1929) pimpinan Gustaaf Adolf,
disusul oleh Pemberita Batak dan Bintang Batak. Sedangkan di Tarutung terbit
Pardomuan Batak yang diasuh Fridolin Pangabean. Meskipun berkala dan
koran-koran tadi terbit dalam bahasa daerah, tetapi pada dapat disebutkan bahwa
pada umumnya isinya sesuai dengan aliran zamannya yakni menyebarluaskan
semangat nasionalisme, semangat cinta tanah air dan bangsa Indoensia. Dalam
bidang organisasi kewartawanan, juga dipelopori pers Belanda, dengan
didirikannya Journalisten Vereeniging di Jakarta pada 1907.
Ketuanya W. Wiggers
(Taman Sarie), penulis F.D.J. Pangemanan
(Perniagaan), pembantu Gouw Peng Liang (Sinar Betawie). Sepak terjang
organisasi gabungan ini kurang dikenal dan tidak hidup begitu lama. Yang lebih
terkenal ialah de Nederlandse Journalistenkring yang rupa-rupanya merupakan cabang
dari organisasi wartawan di Nederlan, sebab di belakang nama organisasi tadi ditambahkan
kata-kata in Nederlands Indie (di Hindia Nederland). Organisasi kewartawanan
yang anggotanya melulu wartawan Belanda ini mempunyai organ, De Journalist
sampai datangnya Jepang. Kaum wartawan Tionghoa-Melayu sementara itu mempunyai
organisasinya, Tjoe Piet Hwee diketuai Pek Pak Eng (1920). Organisasi ini tidak
pernah berkembang dan mati dengan sendirinya.
Di Solo pada 1914
berdiri Inlandse Journalisten Bond diketuai Mas Marco (Sarotomo), sedangkan anggota-anggotanya
ada yang pedagang, guru atau mantri kepatihan. Pada masa itu barangsiapa yang pernah
menulis di suratkabar atau majalah, boleh menyebut dirinya jurnalia.
Dr. Tjipto
Mangunkusumo pada tahun 1919 mendirikan Perkoempoelan Indiers Journalisten Bond
dengan organnya Panggugah (Pembangun).
Sebagai Sekretaris
organisasi ditunjuk Heerlan Soetadi, dan keuangan H.M. Misbach. Di Surabaya
pada 1925 Raden Mas Bintarti mendirikan Sarekat Journalist Asia, yang dari namanya
dapat ditarik kesimpulan bahwa yang menjadi anggotanya adalah wartawan
Indonesia dan non-pri. Hal yang sama terjadi pula di Yogya, hanya namanya saja
yang beda yaitu Perserikatan Journalist Asia dengan Mr. Soejoedi sebagai ketuanya.
Sebagaimana halnya organisasi wartawan lainnya yang bersifat lokal, usia kedua organisasi
tadi tidak terlalu panjang.
Yang mempunyai
cabang dan yang agak panjang usianya ialah Perkoempoelan Kaoem Journalist atau
PKJ yang didirikan di Semarang (1931). Ketuanya Saeroen (Siang Po); penulis
Bakrie Soeraatmadja; (Sipatahoenan, Bandung), Koesoemodirdjo (Darmo Kondho,
Solo), Soejitno (Sin Tit Po, Surabaya) dan Joenoes (Bahagia, Semarang). Sebagai
wakil ketua terpilih Wignjadisastra (kantor berita HIPA, Jakarta) dan Parada
Harahap (Bintang Timur, Jakarta).
Bertepatan dengan
diadakannya Kongres Indonesia Raya ke-11 di Solo (1933), berhimpun pulalah sejumlah
wartawan Indonesia dan bersepakat mendirikan Perdi (Persatuan Djurnalis
Indonesia). Ketuanya Soetopo Wonobojo (Koemandang Rakjat, Solo), R.M. Soedarjo
Tjokrosisworo (Midden Java Redacteur Soeara Oemoem). Penulis, R. Sjamsu Hadiwijoto
(Adil, Solo), Sjamsuddin Sutan Makmur (Daya Upaya, Semarang), Bakri
Soeraatmadja (Sipatahoenan, Bandung), Inu Perbatasari Mertokoesoemo (Oetoesan
Indonesia, Yogya) dan Joenoes Dirk Syaranamoeal (Soeara Oemoem, Surabaya). Pada
waktu berdirinya, Perdi mempunyai cabang-cabang di Solo, Yogya, Semarang,
Surabaya, Jakarta dan Bandung.
Dalam sejarahnya,
Perdi terus berdampingan dengan pergerakan rakyat yang waktu itu tergabung
dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia), yaitu suatu federasi dari
partai-partai politik nasional yang ada pada masa itu, dan dengan MIAI (Majelis
Islam Ala Indonesia), federasi sejumlah ormas dan partai Islam. Sejumlah kaum
wartawan muslim di sekitar 1935-an di Medan, mendirikan Warmusi (Wartawan Muslimin
Indonesia), dipelopori oleh Mohammad Yunan Nasution (Pedoman Masyarakat),
Zainal Abidin Ahmad (Pandji Islam), dan di Jawa Soerono Wirohardjono (Adil,
Solo), Wali al-Fatah dan Ghafar Ismail.
Sebagaimana halnya
ormas dan perkumpulan lainnya, maka pada zaman Jepang baik Perdi maupun Warmusi
menghentikan kegiatannya atau membubarkan diri. Bahwasanya pers Indonesia sudah
menyadari keperluan adanya sebuah kantor berita, terbukti telah dirintis oleh
beberapa wartawan untuk mendirikan persbureau. Terlebih pula, setelah ternyata
bahwa Aneta sangat tidak pernah memperhatikan apa yang terjadi di komunitas Indonesia.
Peristiwa-peristiwa penting, seperti Kongres Bahasa Indonesia, Kongres Perdi, Kongres
PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda) dan lain-lainnya lagi, tidak pernah
disiarkan Aneta.
Parada Harahap
pernah berusaha mendirikan kantor berita Alpena (Algemeen Pers en Nieuws Agentschap)
dengan cabangnya di Purwokerto.
Kemudian A.
Wignyadisastra, koresponden berbagai suratkabar, sekaligus menjadi pegawai Balai
Pustaka, juga pernah mencoba mendirikan HIPA (Het Indonesische Pers Agentschap)
di Jakarta. Di Medan oleh Muhammad Yunan Nasution juga pernah didirikan
Persbureau Himalaya. Semuanya tidak tahan lama. Bratanata di Cirebon pernah
pula mengeluarkan buletin stensilan bernama Nicork (National Indonesische
Correspondentie Kantoor), yang semula dimaksudkan sebagai persbureau. Tetapi dalam
perkembangannya justru menjadi suratkabar dan bernama Nicork-Expres, kuat bertahan
sampai Jepang datang.
Sekitar 1930-an,
Mohammad Arif Lubis di Medan membangun Inpera (Indonesische Pers Agentschap).
Di Ambon John Tupamahu mendirikan Maloekoe dengan menerbitkan buletin kantor berita.
Di Kalimantan pada
tahun 1926 seorang putra Dayak, Housman Babou dan L.H. Rumdjain putra Minahasa
mendirikan Borpena (Borneo Pers en Nieuws Agentschap); dalam tahun 1928 namanya
diubah menjadi Kalpena (Kalimantan Pers en Nieuws Agentschap). Kantor berita
ini bertahan sampai 1934 karena kalah bersaing dengan Aneta. Sementara itu,
sewaktu Soewardi Soerjaningrat dibuang ke Nederland, dia juga mencoba mendirikan
kantor berita di sana, Indonesische Persbureau yang tujuan utamanya untuk lebih
memperkenalkan nama Indonesia, dengan sendirinya kantor berita tadi
menghentikan kegiatannya, setelah Soewardi kembali pulang ke Indonesia.
Yang langgeng
hidupnya ialah Kantor Berita Antara, yang didirikan pada tahun 1937 oleh Mr. Sumanang,
Albert Sipahutar, Adam Malik dan Pandoe Kartawiguna. Antara dalam sejarah ternyata
timbul tenggelam dengan bangsa yang melahirkan, membesarkan dan yang
memilikinya.
Antara pada masa
penjajahan merupakan eksponen penting bagi perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana
halnya pers dan kaum wartawan Indonesia masa itu umumnya, terlebih dahulu nasionalis,
baru kemudian wartawan. Pers Indonesia di masa penjajahan adalah pers perjuangan.
(Soebagijo I.N Sumber: Abdullah Latief 1980
Pers di Indonesia di zaman pendudukan Jepang, “Karya Anda” Surabaya; Abdurrachman Surjomihardjo,
Beberapa Segi Perkembangan Pers di Indonesia ldayu, Jakarta; Abdurrachman Surjomihardjo
1980: Beberapa Segi Perkembamgan Sejarah Pers di Indonesia. Deppen RI-Leknas
LIPI; Departemen Penerangan : suratkabar Indonesia pada Tiga Zaman, tanpa tahun;
Evert - Jan Hoogerwerf 1990 : Persgeschiedenis van Indonesia tot 1942. KITLV Uitgeverij,
Leiden; Kwee Kek Beng 1948; Doea Poeloe Lima Tahon sebagai Wartawan. Kuo- Batavia;
Leo Suryadinata 1981 Eminent Indonesia Chinese. Gunung Agung Singapore;
Moerthiko 1978. Pelita Hidup. Sekretariat Empeh Wong Kam Fu, Semarang; Nio Joe
Lan 1946. Dalem Tawanan Djepang. Lotus Co, Djakarta Kota; S.P.S. Djakarta. 1958
Sekilas Perdjuangan Suratkabar; Soebagijo IN. 1977: Sejarah Pers Indonesia,
Dewan Pers; Soendoro : Djurnalistiek Seperempat Abad dalam Ragi Buana, Agustus
1970; Sumanang Mr. 1953. Buku Pelajaran pers dan Journalistik, Balai Pustaka
Jakarta; Tio le Soei 1955 Lie Kim Hok, Good
Luck Bandung; Tamar Djaja 1980. ROHANA KUDUS Srikandi Indonesia. Mutiara,
Jakarta; L. Taufik Drs. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. PT.
Triyinco; Wormser. Mr. C.W.
Journalistiek op
Java. Uitgeverij W. van Hoeve, Deventer, tanpa tahun; Wormser. Mr. C.W. Drie en
Dertig Jaren op Java. Amsterdam; Surat-suratkab
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-fungsi
yang dijalankan pers.
Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan
informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan
masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai
pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga
secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu
yang ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda.
Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi
dan pendidikan perjaungan ini, paling
tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif
masyarakat Indonesia kala itu.
3.2 Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam
makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan
demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya
membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah
yang akan datang menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR ISI
Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung
0 komentar:
Post a Comment