Saturday, 19 August 2017

TRADISI SELAMATAN DAN ZIARAH KUBUR DALAM MASYARAKAT ISLAM DI INDONESIA






Disusun oleh :
RYAN EDI SAPUTRA
11043101794
SANDY
11043101579
Kelas III B
JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU

T.A 2011/2012

PENDAHULUAN
Latar belakang
                Tradisi ziarah dan selamatan ke makam orang-orang terkemuka di Tanah air telah berlangsung cukup lama, yakni tradisi yang juga pernah semarak di dunia Islam. Namun, banyak peziarah yang melakukan penyimpangan dari segi akidah Islam. Di lain pihak tradisi ziarah masih terus dilestarikan, yang juga didasarkan kepada teks suci Al-quran. Karena apa yang mereka lakukan bukan meminta kepada arwah, melainkan kepada Allah. Bahkan dalam perkembangannya kegiatan berziarah ini cenderung dimanfaatkan untuk meningkatkan arus wisata alam dan wisata budaya.
Apalagi pada saat bangsa Indonesia mulai merasakan peningkatan kesejahteraan hidup tradisi ini menunjukkan gejala peningkatan, para pelaku pun cukup beragam dengan berbagai strata sosial. Kajian ini difokuskan pada usaha menangkap dan memahami perwujudan keagamaan masyarakat di berbagai lokalitas dan perspektif kebudayaan atau tradisi lokal yang dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup dan usaha integrasi sosial.







PEMBAHASAN
 I.     Pengertian Ziarah Kubur (Nyadranan) dan Selamatan (Haul)
a.      Tradisi Ziarah Kubur (Nyadranan)
Nyadran, tradisi yang biasa dilakukan menjelang bulan puasa. Tradisi berziarah ke makam leluhur ini sudah dilakukan sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa sejak zaman dahulu hingga sekarang.Nyadran atau sadranan berasal dari bahasa Jawa yang artinya berziarah. Pada mulanya nyadran dilakukan ke makam tokoh masyarakat yang sangat dihormati maupun nenek moyang keturunannya. Namun kini, beberapa masyarakat hanya berziarah ke makam famili atau sanak saudaranya.
Dalam prosesi nyadran biasanya para peziarah membawa tiga jenis bunga. Bunga kantil, kenanga dan mawar. Setiap bunga memiliki makna tersendiri. Kantil agar hati peziarah terkait dengan orang yang sudah meninggal. Kenanga sebagai tanda agar semua kenangan selalu diingat. Dan terakhir mawar sebagai permohonan agar dosa arwah dihapus.
Para peziarah juga membakar kemenyan. Membakar kemenyan dianggap sebuah simbol keagungan. Asap kemenyan yang membumbung ke atas diyakini sebagai sebuah perumpamaan doa peziarah ke atas sehingga menghubungkan diri kepada Tuhan. Itu adalah simbol perjalanan doa peziarah supaya bisa diterima.
Selain tiga bunga tadi, biasanya prosesi nyadran diwarnai beberapa makanan sebagai sesajen yakni apem dan ketan. Kedua makanan ini juga memiliki makna tersendiri.[1]
Ketan adalah simbol untuk merekatkan hubungan persaudaraan (ketan:ikatan). Semua orang datang bersama-sama dan merapatkan garis sosial. Sementara apem supaya mereka diampuni (apem:afwun;ampunan). Setelah diampuni dosanya kemudian merekatkan hubungan saudara maka peziarah akan ingat kepada Tuhan. Acara Nyadran akan berakhir dengan makan bersama, dengan saling menukarkan makanan yang dibawa setiap keluarga.  Budayawan Jawa, Suwardi Endraswara, menambahkan tradisi ini biasa dilakukan oleh orang Jawa yang masih puritan atau asli yang masih menganut paham kejawen.[2]
Tak diragukan lagi bahwa berziarah ke kuburan orang tua dan kerabat termasuk ajaran Islam. Islam menganjurkan umatnya untuk banyak-banyak mengingat kematian, dan ziarah kubur merupakan sarana yang efektif untuk mengingat kehidupan akhirat. Meski demikian, tatacara ziarah kubur dalam tradisi nyadran kental dengan nuansa ajaran kebatinan dan kejawen. Perbedaan mendasar ziarah kubur dalam Islam dengan tradisi nyadran adalah sebagai berikut:
Nyadran hanya dilakukan pada bulan Sya’ban, terutama sekali di akhir Sya’ban. Adapun ziarah kubur dalam Islam dianjurkan dalam semua bulan dalam satu tahun, tidak ada pengkhususan atau keutamaan khusus pada bulan Sya’ban semata.
Nyadran dipersyaratkan membawa bunga Kantil, Kenanga, dan Mawar, sesajen berupa apem dan ketan, serta membakar kemenyan. Simbolisasi seperti ini adalah warisan agama Hindu dan kejawen. Adapun Islam sama sekali tidak memerintahkan umatnya  membawa bunga, sesajen, dan kemenyan dalam ziarah kubur. Menurut Islam, orang yang telah mati tidak membutuhkan bunga, sesajen atau kemenyan. Kebutuhannya adalah doa dari anak yang shalih dan kaum muslimin.
Proses nyadran meliputi menabur tiga jenis bunga, memberikan sesajen, membakar kemenyan, doa dan makan bersama. Adapun proses ziarah kubur dalam Islam adalah berdoa ketika masuk areal makam (arti doanya:Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kalian wahai penduduk kuburan, dari kalangan muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat. Insya Allah, kami akan menyusul kalian. Kami memohon keselamatan kepada Allah untuk diri kami dan diri kalian), mendoakan orang yang telah mati, dan mengambil pelajaran agar senantiasa ingat dan mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat. Tidak ada makan-makan bersama atau tukar-menukar makanan.
Proses nyadran mengaitkan dikabulkannya doa dengan tiga jenis bunga, sesajen, dan kemenyan. Adapun Islam mengaitkan terkabulnya doa dengan waktu-waktu, tempat-tempat, keadaan-keadaan, dan syarat-syarat yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Tiga jenis bunga, dua makanan sesajen, kemenyan, dan kuburan bukanlah unsur-unsur yang menyebabkan terkabulnya doa.
Proses nyadran rawan menimbulkan bid’ah (meyakini doa di kuburan lebih mustajab) dan syirik (meyakini orang yang mati bisa mengabulkan permohonan orang yang hidup), melalaikan dari kehidupan akhirat (ramai-ramai makan dan tukar-menukar makanan, disertai canda-ria, dan campur baur laki-laki dengan wanita yang bukan mahram), dan tabdzir (mengeluarkan biaya tinggi untuk masakan yang sebenarnya kurang dibutuhkan). Hal-hal mungkar seperti ini tidak terdapat dalam ziarah kubur yang sesuai dengan syariat Islam.[3]


b.      Tradisi Selamatan (Haul)
Haul berasal dari bahasa arab : berarti telah lewat atau berarti tahun. masyarakat Jawa menyebutnya (khol/selametane wong mati) yaitu : suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang yang ditokohkan dari para wali, ulama’, kyai atau salah satu dari anggota keluarga.
Selamatan merupakan ajaran dari Budaya Jawa untuk menyelamatkan jiwa orang yang telah meninggal dunia. Ajaran ini sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha masuk di tanah Jawa. Dalam perjalanannya ajaran selamatan ini mendapatkan pengaruh dari ajaran agama Hindu dan Budha. yang dirubah-rubah itu hanyalah mantra ataupun doanya. Prinsip selamatannya sendiri tetap dan setelah Islam masuk di Jawa, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip ajaran agama Islam. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa acara penyelamatan atau selamatan itu sebagai tindakan bid'ah. Mereka berpandangan bahwa hanya si mayit yang bisa menyelamatkan dirinya sendiri dengan amal dan perbuatannya pada masa hidupnya. Bukankah selamatan itu bid'ah karena tidak ada tuntunan Rasul untuk itu ? Secara eksplisit tidak ada, tetapi kalau cermat mengkaji Sunah Rasul niscaya akan mengetahui bahwa tindakan penyelamatan orang yang meninggal itu ada, yaitu : *) Yang pertama adalah adanya sholat jenazah atau sholat ghoib. *) Yang kedua adanya doa untuk memintakan ampunan dan perlindungan kepada orang mukmin dan muslim, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. [4]
Adapun rangkaian acara dalam tradisi selamatan (Haul) ini adalah sebagai berikut :
1.      Khotmul Qur’an yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30)
2.      Tahlilan
3.      Doa yang dihadiahkan kepada mayit
4.      Pengajian umum yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang patut diteladani
5.      Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah masing-masing (ater-ater)[5]

      II.            Keyakinan yang Berkembang dari Hasil Interrelasi
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentumemiiki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, yang suci atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan, sehingga terdapatlah rukun iman yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai/di imani oleh muslim.
Yang termasuk rukun iman adalah iman kepada Allah, iman kepada Malaikat, iman kepada para Nabi, iman kepada kitab suci, iman kepada hari akhir dan iman kepada qodho dan qodar. Namun demikian, diluar semua itu masih terdapat unsur-unsur keimanan yang lain yang juga harus dipercayai.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun kepercayaan animisme dan dinamisme dalam proses perkembangan Islam itulah yang berinterrelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam islam.
Ritual-ritual yang dibuat atau dipakai orang –orang jawa islam yang masih disesuaikan dengan kebiasaan Hindu-Budha nya, yaitu seperti adat mitoni (memperingati 7 bulan kehamilan) memperingati orang mati dengan ritual doa seminggu, 40 hari, nyatos, nyewu dan mendak, ada adat selamatan, gerebek suro nyandran, kliwonan sedekah bumi, nyekar (ziarah kubur) dan masih banyak adat-adat kebiasaan islam lain yang dihubungkan dengan budaya hindu-budha.
Pada aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan berbagai unsur Hindu Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asma` al husna telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti kang Murbeng Dumadi (al Khaliq), ingkang Maha Kuwaos (al Qadir), ingkang Maha Esa (al Ahad), ingkang maha suci, dll. nama-nama itu bercampur dengan nama dari agama lain, namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari orang jawa lebih terbiasa dengan menyebut Gusti Allah, sehingga orang jawa sudah terbiasa mengucap ”Bismillah” ketika akan memulai pekerjaan apapun yang baik. Demikian juga ucapan “Ya Allah Gusti” ketika berdoa, “astagfirullah” ketika merasa kecewa dan lain sebagainya.
Namun, penghayatan tentang prinsip tauhid itu akan berbeda tatkala pemahaman tentang ketuhanan itu masuk dalam dimensi mistik bercorak pantheistic. Terdapatlah sebutan hidup (urip), sukma, sehingga Tuhan Allah disebut sebagai Hyang Maha Hidup, sukma kawekas yang mengandalkan bahwa tuhan sebagai dzat yang maha hidup, yang menghidupi segala alam. Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati/ hidup.[6]
Kepercayaan terhadap mahluk jahat tidak saja ada pada agama Islam, tetapi juga ada dalam agama Hindu maupun kepercayaan primitif. Dalam Islam makhluk jahat itu disebut syaitan, yang dalam jawa disebut setan, dan pemimpin setan disebut iblis, ada juga jin yang termasuk dengan golongan jahat, tetapi ada yang dapat dimanfaatkan untuk membantu manusia, sedangkan pada agama hindu jenis mahluk jahat/roh-roh jahat sebagai musuh Dewa, antara lain warta musuh Dewa Indra.  Roh jahat yang lebih rendah derajatnya dari musuh dewa disebut raksa, yang bisa menjelma menjadi binatang/manusia dan roh jahat pemakan daging jenazah adalah picasa.
Menurut keyakinan islam, orang yang sudah meninggal dunia, ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur/ alam Barzah, sebagai alam sebelum manusia memasuki alam akhirat, hanya saja menurut orang jawa, arwah orang-orang tua sebagai nenek moyang yang meninggal dunia berkeliaran disekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam. Mereka masih mempunyai kontak dengan keluarga yang masih hidup sehingga suatu saat arwah itu nyambagi/ datang ke kediaman anak keturunan, roh-roh yang baik yang bukan roh nenek moyang/ kerabat disebut dayang, baureksa, atau sing ngemong. Dayang dipandang sebagai roh yang menjaga dan mengawasi seluruh masyarakat desa, dari sinilah kemudian timbul upacara bersih desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun sesaji. Disisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang yang meninggal perlu dikirimi do’a, maka muncul tradisi kirim dongo (do’a), tahlilan tujuh hari, 40 hari, setahun dan seribu hari.[7]
Suku-suku bangsa indonesia dan khususnya suku jawa sebelum kedatangan pengaruh Hinduisme telah hidup teratur dengan religi animisme- animisme sebagai akar spiritualitasnya dan hukum adat sebagai pranata kehidupan sosial mereka.Adanya warisan hukum adat menunjukkan bahwa nenek moyang suku bangsa indonesia asli telah hidup dalam persekutuan-persekutuan desa yang teratur, dan mungkin dibawa pemerintahan atau kepala adat desa.[8]
Sebagian besar orang Indonesia mengaku beragama islam, sikap keagamaan sehari-hari yang mereka hayati, dijiwai dalam batinnya oleh agama alsi Indonesia yang kaya raya isinya, yang dipelihara dengan khusuk yang tidak mau dirombak oleh agama asing.[9]












PENUTUP

Kesimpulan
Selamatan merupakan ajaran dari Budaya Jawa untuk menyelamatkan jiwa orang yang telah meninggal dunia. Ajaran ini sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha masuk di tanah Jawa. Dalam perjalanannya ajaran selamatan ini mendapatkan pengaruh dari ajaran agama Hindu dan Budha. yang dirubah-rubah itu hanyalah mantra ataupun doanya. Prinsip selamatannya sendiri tetap dan setelah Islam masuk di Jawa, berbagai tata cara dan mantranya diubah disesuaikan dengan prinsip ajaran agama Islam.
Ziarah kubur yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia telah dianggap sebagai budaya atau perilaku kepatuhan turun temurun. Ziarah kubur atau kirim do’a dengan mendatangi langsung makam ahli kubur sesepuh, orang tua, saudara  atau tokoh agama yang cukup berjasa terhadap siar agama islam seperti kiai, ulama, para wali. Hari atau waktu dimana orang melakukan ziara kubur biasanya tergantung moment atau kepentingan peziarah. Malam Jum’at Legi, menjelang puasa ramadhan, menjelang Hari Raya Idul Fitri seperti saat ini.







DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta : 2002
Hariwijaya, M, Islam Kejawen, Gelombang Pasang, Yogyakarta : 2006
Muchtarom Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Selemba diniyah, Jakarta: 2002
Ridin Sufwan, dkk, Merumuskan kembali Interrelasi Islam Jawa, Gama Media, Yogyakarta: 2004

           



[1] M. Hariwijaya,  Islam Kejawen, Gelombang Pasang, Yogyakarta : 2006 hal : 166

[2] Ibid, hal : 172
[3] Muchtarom Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Selemba diniyah, Jakarta  : 2002 hal: 24

[4]  Hariwijaya, Op Cit, hal :167
[5] Ibid, hal : 200
[6] M. Darori, Amin,  Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta : 2002 hal: 124

[7] Ibid, hal:128
[8] Ridin Sufwan, dkk, Merumuskan kembali Interrelasi Islam Jawa, Gama Media, Yogyakarta : 2004, hal. 5

[9] Ibid, hal : 12

3 comments: