Tuesday, 25 October 2016

PERS MASA TIONGHOA





Disusun oleh :
RYAN EDI SAPUTRA

JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU

T.A 2012/2013

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur dengan tulus saya ucapkan kehadiran Allah SWT, karena berkat Taufik dan hidayahnya, makalah Sejarah Perkembangan Pers tentang Pers Tionghoa bisa hadir ditengah-tengah kita semua.
Namun demikian, disadari bahwa sungguhpun makalah ini telah mengalami revisi dan penambahan, didalamnya masih banyak kekurangan.
Kekurangan ini akan diupayakan untuk terus disempurnakan sesuai kemampuan penulis. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnakan buku ini akan disambut dengan senang hati.
Wassalamualaikum Wr. Wb.







 Pekanbaru, 5 April 2013


                         Penullis


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diawal sejarah tanah air, pers Tionghoa muncul atas dasar kesadaran akan nasionalisme di kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia. Mereka awalnya membutuhkan tidak lebih dari sebuah terbitan yang dapat menjadi sarana iklan dagang. Menurut Leo Suryadinata, pakar yang mengkhususkan diri dengan penelitian seputar peranakan Tionghoa di Indonesia, pers Tionghoa diterbitkan oleh dan untuk kalangan terbatas saja pada awalnya. Kata Leo juga, pers mulai berubah setelah revolusi pecah, Dr. Sun Yat Sen membuat China berubah dari kekaisaran menjadi republik pada tahun 1911. Saat itu juga, pers terdorong mengalami perkembangan di bidang sosial, bahkan politik. Pers Tionghoa dengan bahasa Melayu ini juga lahir karena pengaruh munculnya kaum terdidik pada masa itu. Pers Melayu-Tionghoa, bersama pers bumiputra, merupakan bagian dari pergerakan nasional yang aktif berjuang menentang kolonialisme Belanda.
Salah satu yang paling historis serta dikenal hingga sekarang adalah surat kabar Sin Po, surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu yang mulai beredar sejak zaman Hindia-Belanda hingga tahun 1965. Pertama kali diterbitkan di Jakarta sebagai mingguan pada 1 Oktober 1910, Sin Po lantas beralih sebagai surat kabar harian dua tahun kemudian.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pers Tionghoa
Pers Tionghoa dari awalnya adalah pers yang berusaha mengambil jarak dengan dunia politik. Keterlibatan politik dianggap pamali, memecah belah, betapa pun mereka sadar bahwa keterlibatan politik niscaya diperlukan untuk mengubah keadaan. Di lain pihak, pers pribumi kebanyakan menjadi bagian integral dari perjuangan politik melawan pemerintahan kolonial.
Orientasi pers Tionghoa lebih bersifat ke dalam dan eksklusif. Kepedulian terbesar mereka adalah pada problematika kultural masyarakat Tionghoa sendiri meskipun mereka sadar menjadi bagian dari satuan masyarakat yang lebih besar. Perilaku pers Tionghoa merefleksikan kultur Tionghoa sebagai sebuah kelompok. Siauw Tiong Djin pernah menjelaskan orang Tionghoa di Indonesia notabene kurang bersedia mengorbankan waktu dan jiwanya untuk pekerjaan politik, apalagi kalau garis politik yang dipilih membahayakan keselamatannya. Djin mencontohkan apa yang dialami Siauw Giok Tjhan, tokoh politik peranakan Tionghoa yang sempat dipenjara rezim Orde Baru. Sebagian besar warga Tionghoa menganggap sikap politik Siauw yang mendukung garis Indonesia merdeka pada akhir dekade tahun 1930-an sebagai sikap yang "Ong Hiam", berbahaya. (Ibid., hlm 58)
Senada dengan Djin, Onghokham menegaskan sikap khas orang Indonesia-Tionghoa adalah individualis dan netral. Profesi sebagai usahawan mencetak mereka menjadi individu yang individualis. Keterlibatan unsur Tionghoa di bidang politik, budaya, dan sosial juga bersifat individualis. Onghokham menyebut sejumlah figur Tionghoa yang eksis di dunia politik seperti Liem Koen Hian, Siauw Giok Tjhan, Junus Jahya, Yusuf Wanandi, Soe Hoek Gie, dan Arief Budiman.
Namun, sebagai kelompok, golongan Indonesia-Tionghoa tetap bernasib lain. Mereka tetap menunjukkan sikap netral dan pasif. Suatu sikap yang menurut Onghokham agak sukar dan bisa menjadi sumber masalah dalam suasana revolusi, seperti yang dialami masyarakat Tionghoa pada pergantian kekuasaan tahun 1965-1966. (Onghokham, "Etnik Cina dalam Masa Reformasi", Kompas, 13 Agustus 1999).
Pers Tionghoa pasca-Orde Baru menunjukkan kontinuitas kultur politik pers Tionghoa era kolonial. Pers yang tidak begitu hirau terhadap urusan politik sebagai upaya untuk menghindari bentuk-bentuk keterlibatan politik. Pers yang menganggap sikap konfrontatif secara politik sebagai sikap yang kontraproduktif dan dapat membahayakan eksistensi masyarakat Tionghoa. Belum banyak terjadi perubahan dalam kultur politik pers Tionghoa hingga kini.
Barangkali karena selama Orde Lama dan Orde Baru praktis tidak ada kesempatan bagi etnis Tionghoa untuk menata diri. Politik diskriminasi masih terus berlangsung, bahkan kian lama kian memburuk. Demikian juga dengan kerusuhan rasial anti-Cina yang menimbulkan nestapa yang tak terperikan. Pendek kata, etnis Tionghoa tetap hidup dalam ketertindasan politik dan kultural, kecuali segelintir cukong kaya yang menjadi partner setia para pemegang kekuasaan.
Editorial Mandarin Pos edisi 14-28 Februari 2001 meneguhkan kesimpulan itu. Dalam editorial berjudul "Alvin Lie Tidak Wakili Aspirasi Etnis Tionghoa" itu, Mandarin Pos menegaskan pernyataan-pernyataan Lie yang keras dan konfrontatif terhadap lawan politiknya dapat memicu gerakan-gerakan anti-Cina yang destruktif. Khawatir terhadap dampak garis politik Lie, Mandarin Pos menyampaikan pesan politik kepada masyarakat bahwa Lie bukan representasi dari masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Pengalaman majalah Suara Baru adalah fakta yang lain. Dibandingkan dengan media massa pada umumnya, pemberitaan Suara Baru sebenarnya tetap lebih lunak. Meskipun demikian, berita- berita politik Suara Baru sempat memicu keberatan dari kalangan Tionghoa yang menjadi pembacanya. Mereka khawatir sikap "frontal" Suara Baru pada beberapa kasus dapat memancing reaksi-reaksi negatif tertentu. Trauma gerakan-gerakan anti-Cina tampaknya masih membayangi pembaca Suara Baru.
Mereka merasa lebih nyaman jika Suara Baru mengangkat masalah-masalah budaya dan tidak ikut-ikutan berbicara soal politik. Kecemasan ini tampaknya menjadi perhatian redaksi Suara Baru. Belakangan, mereka tetap menyajikan berita-berita politik aktual, namun dengan nada pemberitaan yang semakin diperhalus.(suarationghoaindonesia) Agus Sudibyo, Peneliti pada Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta.


2.2 Perkembangan Pers Tionghoa
Munculnya pers Tionghoa di Jawa pada awal abad ke-20 bisa dibedakan dalam dua kelompok; yakni pers berbahasa asli Tiongkok dan pers berbahasa Melayu. Pers berbahasa Tiongkok dikelola oleh kalangan Singkek atau yang dikenal dengan sebutan China totok. Sedang pers berbahasa Melayu dikelola kalangan Tionghoa peranakan. Seperti apakah kiprah mereka dalam mendorong perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah?
Menurut catatan Abdul Wakhid (Lembaran Sejarah, 1999), awal kemunculan industri pers milik kalangan China totok yang berbahasa asli dari Tiongkok berkaitan erat dengan Soe Po Sia yaitu suatu organisasi perkumpulan pers revolusioner Tiongkok yang berhubungan langsung dengan Dr Sun Yat Sen atau Siang Hwee, organisasi kamar dagang yang didominasi kalangan China totok. Namun jumlah pers yang berbahasa asli Tiongkok terbilang terbatas. Antara lain adalah Huauo Bao (Jakarta), Zhaowa Gong Bao (Semarang), dan Hanwen Xinbao (Surabaya). Sementara pers milik Tionghoa peranakan muncul setelah timbulnya gerakan Pan-China di Jawa akibat pengaruh propaganda nasionalisme Dr Sun Yat Sen di China daratan.
Namun pers milik Tionghoa peranakan tetap memakai bahasa Melayu. Sebab, mereka sudah banyak yang tak paham lagi dengan bahasa asli Tiongkok. Kebiasaan mereka juga sudah berbeda karena banyak yang menyerap dan terserap dalam budaya local pribumi.
Surat kabar milik Tionghoa pernakan yang pertama terbit adalah Li Po. Surat kabar yang dicetak di Sukabumi, Jawa Barat, itu menyebarkan ajaran Konghucu dan berkaitan dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yaitu organisasi Pan-China pertama di Jakarta pada tahun 1900. Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po (Jakarta-1910).
Dekade 1920-an, kalangan Tionghoa peranakan menerbitkan sejumlah suratkabar lagi. Antara lain Bing Seng (Jakarta-1922), Keng Po (Jakarta-1923), Sin Jit Po (Surabaya-1924), Soeara Publiek (Surabaya-1925), dan Sin Bin (Bandung-1925). Pada dekade 1930-an, surat kabar Tionghoa peranakan makin bertambah banyak akibat pengaruh perang anti-Jepang. Namun surat kabar Tionghoa peranakan tidak semuanya anti-Jepang, seperti yang ditunjukkan Mata Hari (Semarang) dan Hong Po (Jakarta).

Dari segi redaksional, susunan staf surat kabar Tionghoa peranankan semula menggunakan tenaga dari Indo – Eropa, seperti yang dilakukan Chabar Perniagaan dan Sin Po pada awal terbitnya. Dalam perkembangannya, surat kabar Tionghoa peranankan bisa mandiri. Bahkan, ada yang memberikan kesempatan kepada orang-orang bumiputra (pribumi) sebagai jurnalis atau pengelola. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola Keng Po, Siang Po, Sin Po, Pewarta Soersbsis, Mata Hari, dan Sin Tit Po.
Namun, jika dilihat dari spectrum politis yang dipantulkan dari surat kabar Tionghoa, setidaknya bisa dibagi dalam tiga aliran ; yakni Kelompok Sin Po, Kelompok Chung Hwa Hui, dan Kelompok Indonesier (orang Indonesia). Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara Kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang Kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya, tapi secara politik ingin berasimilasi dengan masyarakat local dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
2.3 Publikasi Indonesia Raya pun Lewat Sin Po
Ketika kalangan intelektual bumiputra (pribumi) masih kesulitan mengelola pers secara mandiri, surat kabar milik Tionghoa awal abad ke-20 menjadi salah satu sumber dan media penting untuk mendorong pergerakan nasional Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Sikap Belanda terhadap pers milik yang dikelola kalangan Tionghoa awal abad ke-20 lalu cenderung lunak dan bisa dikatakan tidak mendapat represif yakni berupa pembredelan atau penangkapan seperti yang dialami jurnalis pribumi. Sebab, pers Tionghoa dianggap netral. Sikap lunak Belanda ini mungkin tak lepas dari kepentingan Belanda kala itu yang ingin memanfaatkan kaum Tionghoa sebagai alat politik dan ekonomi.
Namun kalau akhirnya ada Tionghoa peranakan yang memiliki benih-benih rasa anti-Belanda seperti yang ditunjukkan Tionghoa Indonesier, hal itu juga bukan suatu keanehan. Sebab, sepak terjang orang Belanda terhadap orang Tionghoa juga berubah-ubah dan diskrimininatif. Bahkan, di Batavia pernah terjadi pembantaian massal terhadap kaum Tionghoa yang menelan korban sekitar 10 ribu jiwa.
Adalah surat kabar Sin Tit Po sebagai wakil pers Tionghoa peranakan yang bersedia menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Pengelola surat kabar — yang juga menjadi corong setengah resmi Partai Tionghoa Indonesia (PTI) ini menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan. Mereka juga merasa, nasibnya telah terikat dengan nasib orang Indonesia pribumi. Tak aneh jika Sin Tit Po ikut menyebarkan ide-ide nasionalisme Indonesia.
Lantas bagaimana dengan surat kabar Tionghoa yang pro-nasionalisme Tiongkok? Menurut Abdul Wakhid, meskipun surat kabar Sin Po berhaluan ke nasionalisme Tiongkok, bukan berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Apalagi, kelompok Sin Po juga menolak kewarganegaraan Belanda. Mereka tetap menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Pemberitaann Sin Po tidak mengabaikan peristiwa-peristiwa penting di Indonesia hingga bisa memberikan kesadaran dan inspirasi bagi perjuangan. Dalam beberepa periode, Sin Po banyak memakai wartawan bumiputra dan banyak memuat berita pergerakan. WR Supratman juga tercatat sebagai wartawan Sin Po. Melalui Sin Po juga lagu Indonesia Raya gubahan WR Supratman yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia pertama kali dipublikasikan. Sementara Ir Soekarno juga dikenal dekat dengan Sin Po.
Pendek kata, hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.

3.2 Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.



DAFTAR ISI


Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung

Friday, 21 October 2016

PERS MASA BELANDA


PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pers menurut kata berarti cetak. Sedangkan bila kita kembangkan lagi, pers dapat kita bagi ke dalam dua pengertian. Yakni pengertian pers secara sempit dan secara luas. Pers dalam pengertian sempit terbatas pada media massa cetak seperti surat kabar dan majalah. Sedangkan dalam pengertian luas pers meliputi seala macam penerbitan, media elektronik, radio siaran, dan telvisi siaran.
Pers dalam kenyataan adalah lembaga kemasyarakatan, bersama-sama dengan subsistem lainnya, dan tidak mandiri. Mempengaruhi dan dipengaruhi lembaga lainnya. Pers di Indonesia sendiri sudah ada sejak dahulu kala sebelum zaman kemerdekaan seperti saat ini. Pers di Indonesia sudah ada sejak abad 13-an di Indonesia. Menurut sumber internet seprti yang ada pada bapeda-jabar.go.id, disebutkan bahwa terdapat majalah bernama Al Djawaib yang beredar pada tahun 1285-1301.
Peredarannya di banyak negara termasuk Hindia-Belanda (Indonesia). Parada Harahap dalam bukunya Ilmu Pers, menulis, Al-Djawaib terbit tahun 1795-1801 (Masehi). Dalam perkembangan selanjutnya sejarah pers Indonesia berkembang seiring zaman dan dipengaruhi berbagai faktor. Salah satunya adalah penjajahan bangsa asing ke Indonesia. Seperti Belanda, Spanyol, Portugal, Inggris, dan Jepang. Perkembangan pers Indonesia pada masa penjajahan sangat tergantun oleh siapa yang menjajahnya. Pers juga menjadi alat penjajahan bagi bangsa asing. Salah satunya adalah Belanda.
Belanda telah datang ke Indonesia sejak tahun 1596-an. Cukup lama juga Belanda menapaki tanah Indonesia, atau yang mereka sebut Hindia Belanda, yakni 350 tahun. Dalam kurun waktu yang panjang ini Belanda telah cukup menjajah berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia. Seperti ekonomi, politik, budaya, dan tentunya perkembangan pers. Berbagai lembaga pers yang ada semasa Belanda adalah pers-pers yang sesuai kehendak Belanda. Jika ada yang coba-coba protes maka bersiaplah untuk dihukum dan surat kabarnya ditutup.
Perkembangan pers di masa penjajahan Belanda juga menjadi catatan sejarah yang penting untuk disimak. Karena pers pada saat itu juga berperan di dalam menggapai kemerdekaan Indonesia.
Berbagai perjalanan pers di masa penjajahan Belanda, akan dapat kita simak di bagian pembahasan selanjutnya. Pada bagian pembahasan akan dikemukakan mengenai perkembangan pers di masa penjajahan Belanda tersebut. Meliputi nama-nama koran yang ada, tokoh-tokoh pers Indonesia saat itu juga perana pers Indonesia di masa penjajahan bangsa Belanda.

PEMBAHASAN
2.1 Media cetak yang ada pada zaman penjajahan Belanda
Media cetak berupa koran adalah media yang banyak tercatat perkembangannya pada masa Belanda. Sebab, pada saat zaman Belanda memang koran lah yang paling umum ditemukan. Sedangkan radio masih sangat terbatas pada kalangan masyarakat Belanda yang ada di Indonesia saat itu. Sedangkan media televisi belumlah berkembang dan masih sangat kaku.
Dalam catatan sejarah tercatat bahwa koran yang terbit pertama di masa penjajahan bangsa Belanda adalah Bataviasche Nouvelles en politique Rasionementen. Yang lebih dikenal dengan nama Bataviasche Nouvelles saja. Surat kabar ini pertama kali terbit pada 7 Agustus 1744, dengan tulisan berbahasa Belanda. Tetapi koran ini bukanlah buatan dari pers Indonesia. Melainkan buatan bangsa Belanda sendiri waktu itu, di bawah pimpinan Gubernur Jendral Van Imhoff .
    Surat kabar ini diterbitkan dengan tujuan kepentingan dagang. Penerbitan koran ini mendapat reaksi dari orang-orang Belanda sendiri. Para penulis belanda menyebutkan bahwa sikap Van Imhoff terlalu. Dewan XVII (17) yang merupakan pusat kebijakan Kompeni di Negeri Belanda menutup Koran ini.Alasannya akan mempengaruhi pikiran pribumi Hindia-Belanda saat itu. Akhirnya Bataviasche Nouvelles ditutup pada 7 Juni 1746. Akibatnya berita-berita daan yang aa hanya bisa diketahui lewat lelang-lelang saja.
Pers Indonesia mulai tumbuh seiring dengan zaman pergerakan nasional pada akhir abad 19-an. Surat kabar Medan Prijaji adalah pelopor pers nasional Indonesia. Surat kabar ini terbit pada tahun 1907 dan merupakan surat kabar mingguan. Pemimpin Redaksinya adalah RM Tirtoadisuryo. Surat kabar ini merupakan suara golongan priyayi. Setelah Medan Prijaji tercatat masih ada surat kabar lainnya yang terbit. Di Jakarta terbit Taman Sari , menjelang abad -20 pimpinan F wiggers. Lalu ada Pemberita Betawi pimpinan J. Hendrik. Sedangkan di kota Bandung terbit P ewarta Hindia dipimpin oleh Raden Ngabehi TA sejak 1894. Di kota semarang terbit sura kabar Bintang Pagi dan Sinar Djawa.
Menurut Benedict Anderson dalam tulisan pengantarnya di buku berjudul Indonesia dalem Bara Api, menyebutkan bahwa“Koran mulai tumbuh di ampir setiap kota jang berarti, mirip tjendawan dimusim hudjan. Timbullah djagoan2 masa media pertama di Hindia Belanda, termasuk diantaranya Mas Tirto, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Franscis, Soewardi Soerjadingrat, ter Haar, Mas Marco, Kwee Kek Beng, dan J.H. end F.D.J Pangemanann pakai dua 'n'.”
”Timbul djuga djago2 pers Belanda, termasuk Zengraaff, jang dengan keras membela pengusaha swasta sampai ditakutin pemerintah kolonial sendiri, dan D.W. Beretty, seorang Indo keturunan Italia-Djawa Jogja, jang selain mendirikan persbiro pertama di Hindia Belanda --Aneta, Pakdenja Antara—djuga menerbitkan madjalah radikal-kanan, berdjudul De Zweep (Tjamboek).”

2.2 Berbagai peraturan pers yang ada di zaman penjajahan Belanda
Kehadiran Pers indonesia di zaman Belanda seperti yang telah disebutkan sebelumnya seiring dengan zaman pergerakan nasional. Pererakan nasional adalah suatu era dimana tumbuhnya semangat kebangsaan, nasionalisme , serta persatuan dan kesatuan. Saat itu telah timbul bahwa dengan rasa nasionalisme maka akan dapat meraih kemerdekaan bangsa dari penjajah.
Semangat nasionalisme adalah sebuah ide yang muncul dari tokoh- tokoh berpendidikan kala itu. Berkat lahirnya kaum terpelajar Indonesia maka sedikit banyaknya pola pikir masyarakat berubah. Walaupun masih terbatas pada golongan priyayi atau golongan berada , tetapi ternyata di tengah keterbatasan ini muncul sebuah semangat untuk bangkit melawan penjajah.
Berkat pengetahuan akan dunia, penidikan, maka makin berkembanglah pers Indonesia seiring pesatnya pererakan. Pers indonesia saat itu juga sarana untuk mencapai kemerdekaan. Melalui tulisan-tulisan di surat kabar para kaum terpelajar menyampaikan gagasan-gagasannya. Bagaimana terjajahnya Indonesia selama berabad-abad.
Untuk membendung arus nasionalisme tersebut , pemerintah Belanda juga tidak kehilangan akal. Mereka berusaha membuat peraturan-peraturan yang menyulitkan. Berbgai macam sensor yang pada akhirnya memangkas ide-ide para cendekiawan pribumi tersebut supaya tidak tersebar luas.
Diantaranya sekelumit peraturan terdapat undang- undang sebagai berikut:
  1. Drukpers reglement tahun 1856 tentang aturan sensor preventif.
  2. Pers ordonantie tahun 1931 tentang pembredelan surat kabar.
Kedua undang-undang tersebut menyulitkan keberadaan media- media pribumi saat itu. Mana yang dianggap oleh Belanda berseberangan maka tidak akan segan-segan dibreidel. Tokoh yang menyuarakan tentang Indonesia mereka di media massa, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir, dibuang ke Boven Digul oleh dua penguasa tertinggi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, yaitu Gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936) dan Gubernur Jenderal Tjarda van Star. Alasan dari De Jonge adalah artikel-artikel tokoh pergerakan (memberi labelling) gezagsvijandige artikelen atau tulisan-tulisan yang memusuhi pemerintah.
Selain undang-undang tersebut, tercatat masih ada beberapa peraturan lain. Dalam buku berjudul Maters tercatat ada lima periode pers dari tahun 1906-1942. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1.Periode I (1856-1913).
Lahirnya peraturan tentang cetakan yang bersifat konservatif pada tahun 1856. Pemerintah Belanda sendiri mencoret-coret lai apa yang dibatnya di dalam peraturan undang-undang preventif pada tahn 1906.
Sampai 1913 adalah tahun yan panjan di dalam penyerangan terhadap pers Indonesia.
2. Periode II (1913-1918)
Pengawasan terhaap pers Indonesia yang lebih ketat. Peraturan mengenai pelaksanaan hukum pidana bagi yang melanggar peraturan pers. Peraturan tersebut mengarah ke penulis Eropa yang cendrung liberal dan dinilai akan menganggu ketertiban di Hindia-Belanda.
3. Periode III (1918-1927)
Pers dibayangi oleh ketakutan karena ancaman komunisme dan nasionalisme radikal.
4.Periode IV (1927-1931)
    Terjadi berbagai diskusi tentang pemberangusan pers. Tindakan administratif gubernur jenderal yang membuat pelarang izin terbit media cetak dinilai membelenggu pers.
5.Periode V (1931-1942)
Pemerintah kolonial telah menguasai berbagai macam cara untuk mengendalikan kehidupan pers. Pada paruh kedua periode ini perkembangan politik luar negri semakin menentukan kebijakan pers untuk lebih bebas. Berbagai peraturan-peraturan buatan Belanda ini berakhir pada tahun 1942 , yakni saat masuknya Jepang ke Indonesia.

2.3 Berbagai Fungsi Pers pada Zaman Penjajahan Belanda
Pada dasarnya pers berfungsi sebagai informasi, pendidikan, menghibur, dan mempengaruhi. Fungsi-fungsi ini sendiri sudah ada semenjak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Penjelasannya adalah:
  1. Sebagai informasi
Pada zaman penjajahan Belanda pers Indonesia berfungsi sebagai informasi bagi pembacanya. Melaui surat kabar-surat kabar yang terbit saat itu dapat diproleh beragam informasi. Seperti pergerakan nasional, perdagangan , ekonomi. Surat kabar sangat berperan penting dalam menyebarkan informasi mengenai pererakan nasional. Orang-orang di wilayah lain tahu apa yang terjadi di Jakarta melalui koran. Melalui tulisan-tulisan di surat kabar para tokoh pergerakan nasional memberikan kritik-kritik pedas mengenai tindakan Belanda yang menginjak-injak hak bangsa Indonesia. Meskipun harus dihukum dan diasingkan. Tapi berkat tulisan ini semakin memobilisasi pergerakan nasional pada saat itu.
  1. Sebagai Pendidikan
Pers indonesia sebagai pendidik telah turut memberikan penidikan politik terhadap rakyat indonesia saat penjajahan belanda. Walaupun lagi-lagi terbatas pada golongan priyayi. Sebab pada saat itu kemampuan membaca hanya bisa dicapai para orang ningrat yang telah diperbolehkan mengenyam pendidikan.
Pendidikan politik dari surat kabar ini amatlah berhara sebab dapat membuat orang-oran Indonesia lebih mengerti akan keadaan bangsanya . Dibeleng kebebasannya berabad-abad oleh Belanda.
  1. Sebagai sarana Hiburan
Pada fungsi hiburan , pers Indonesia saat itu belumlah sampai pada tahap ini. Pers saat itu lebih berfungsi menunjang pererakan nasional ketimbang sebagai sarana hiburan. Surat kabar pada saat ini juga bukanlah bertujuan komersial, tapi demi pergerakan bangsa Indonesia.
  1. Sebagai alat mempengaruhi
Masa pergerakan nasional, pers juga dapat mempengaruhi. Melalui tulisan tajam dan kritikan pedas para tokoh pergerakan maka siapa yang membacanya dapat terpengaruh. Sehingga tekad nasionalisme semakin kuat untuk meraih kemerdekaan.
Dan hal ini pula yang sangat ditakuti oleh Belanda. Semakin kuat pergerakan menantan Belanda, maka akan semakin terdesak keberadaan belanda di Indonesia. Karena Semakin banyak orang terpengaruh untuk merongrong kekuasaan Belanda. Oleh karenanya pemerintah Belanda membuat segudang aturan-aturan menyulitkan dan sensor yang memangkas ide-ide para pemikir.

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tercatat bahwa koran yang terbit pertama di masa penjajahan bangsa Belanda adalah Bataviasche Nouvelles en politique Rasionementen. Yang lebih dikenal dengan nama Bataviasche Nouvelles saja. Surat kabar ini pertama kali terbit pada 7 Agustus 1744, dengan tulisan berbahasa Belanda.
Pers Indonesia mulai tumbuh seiring pergerakan nasional pada akhir abad 19-an. Surat kabar Medan Prijaji adalah pelopor pers nasional Indonesia. Surat kabar ini terbit pada tahun 1907 dan merupakan surat kabar mingguan. Pemimpin Redaksinya adalah RM Tirtoadisuryo
Pemerintah Belanda cukup memberi kesulitan pada pers Indonesia dengan berbagai undang-undang.
Pers Indonesia pada zaman Belanda lebih berfunsi sebagai pendukung pergerakan nasional ketimbang fungsi komersial.

3.2 Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.



DAFTAR ISI

Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung

Wednesday, 19 October 2016

PERS MASA PERGERAKAN





Disusun oleh :
RYAN EDI SAPUTRA


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur dengan tulus saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Taufik dan hidayahnya, makalah Sejarah Perkembangan Pers tentang Pers Masa Pergerakan bisa hadir ditengah-tengah kita semua.
    Namun demikian, disadari bahwa sungguhpun makalah ini telah mengalami revisi dan penambahan, didalamnya masih banyak kekurangan.
Kekurangan ini akan diupayakan untuk terus disempurnakan sesuai kemampuan penulis. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnakan buku ini akan disambut dengan senang hati.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

                           






 Pekanbaru, 21 Maret 2013


                                                                                                                                  Penullis


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pergerakan nasional merupakan hal yang baru dalam sistem perjuangan bangsa indonesia menghadapi penjajahan. Hal yang baru tersebut tidak akan bisa berkembang dan dimengerti oleh masyarakat luas tanpa adanya informasi yang disebarluaskan dikalangan masyarakat umum. Pers merupakan sarana yang sangat penting dalam menyebarluaskan informasi. Media pers yang berupa surat kabar dan majalah memiliki andil yang besar di dalam menyebarluaskan suara nasionalisma (kebangsaan) indonesia.
Sejak awal pergerakan melawan penjajahan di negeri ini, kaum pergerakan sadar akan pentingnya peran bacaan dalam menaikkan derajat kesadaran rakyat anti penjajahan sekaligus meluaskan organisasi perlawanannya. Di sinilah peranan pers yang membela rakyat jajahan sekaligus menyatukannya dalam cita-cita bersama melawan penjajahan menjadi penting.
Dalam masa pergerakan ini pula, kita kenal istilah Bacaan Liar sebagai alternatif dari bacaan yang disediakan pemerintah jajahan Hindia Belanda yang jelas-jelas menolak segala bacaan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan kolonial. Karena itulah Pemerintah Jajahan Hindia Belanda berusaha mengontrol bacaan rakyat dengan menyediakan bacaan yang tidak memusuhi kebijakan kolonial dengan mendirikan Balai Pustaka pada  tahun 1917.
Menyikapi situasi penjajahan, sangat tepatlah bila berbagai organisasi gerakan memperhatikan juga kerja-kerja penyediaan bacaan yang dapat mencerahkan dan memberi inspirasi bagi rakyat dalam melawan penjajahan.Dengan demikian Pers Indonesia pun dituntut untuk bekerja keras. Tak sekadar merayakan kebebasan pers tapi juga menegakkan kemandirian nasional dan mencegah semakin tergantungnya bangsa pada tangan-tangan asing.
1.2 Tujuan Pembahasan
  1. Mengetahui awal mula berdirinya pers di Indonesia.
  2. Mengetahui perkembangan pers di Indonesia pada masa pergerakan nasional.
  3. Mengetahui peran pers pada masa pergerakan nasional.


BAB II
PEMBAHASAN
    1. Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia
Dalam sejarah perkembangannya pers Indonesia tidak bisa dilepaskan dari situasi masyarakat kolonial pada waktu itu. Munculnya pers di Indonesia bermula dari perkembangan sejarah pers Belanda sampai akhir abad ke-19 di Hindia Belanda. Kemudian menginjak awal abad ke-20 adalah sebuah awal pencerahan bagi perkembangan pergerakan di Indonesia yang ditandai dengan munculnya koran. (baca juga Sejarah Pers Pada Masa Belanda)
Ada beberapa tahapan dalam perkembangan sejarah pers di Indonesia. Pertama, di sebut “Babak Putih” yakni dari tahun 1744 sampai tahun 1854 dimana surat kabar mutlak dimiliki orang-orang Nederland yang dibuat menggunakan bahasa Belanda dan dibaca oleh pembaca berbahasa Belanda. Kemudian babak kedua berlangsung antara tahun 1854 sampai masa kebangkitan nasional.
Pada tahun 1854 ini dikenal sebagai kemenangan kaum liberal (politik etis) di Nederland yang memberikan kelonggaran pada kegiatan pers di Hindia Belanda Dalam masa pergerakan ini pula, kita kenal istilah Bacaan Liar sebagai alternatif dari bacaan yang disediakan pemerintah jajahan Hindia Belanda yang jelas-jelas menolak segala bacaan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan kolonial. Karena itulah Pemerintah Jajahan Hindia Belanda berusaha mengontrol bacaan rakyat dengan menyediakan bacaan yang tidak memusuhi kebijakan kolonial.
           Perkembangan pers bumiputra atau yang berbahasa Melayu menimbulkan pemikiran dikalangan pemerintah kolonial untuk menerbitkan sendiri surat kabar berbahasa melayu yang cukup besar dan dengan sumber-sumber berita yang baik. ciri-ciri pers berbahasa Melayu ialah lingkungan pembacanya yang dituju atau yang menjadi langganan. (Baca juga Makalah Pers Masa Tionghoa)

    1. Pers Masa Pergerakan Nasional
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada dalam detik-detik terakhir penjajah Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers pada masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan nasional bangsa Indonesia melawan penjajahan. Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 mei 1980, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Surat kabar nasional menjadi semacam perlemen orang Indonesia yang terjajah. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.
Beberapa contoh harian yang terbit pada masa pergerakan, antara lain sebagai berikut:
  • Harian “Sedio Tomo” sebagai kelanjutan harian Budi Utomo yang terbit di Yogyakarta, didirikan bulan Juni 1920.
  • Harian “Darmo Kondo” terbit di Solo, yang dipimpin oleh Sudarya Cokrosiswono.
  • Harian “Utusan Hindia” terbit di Surabaya, yang dipimpin oleh HOS. Cokroaminoto.
  • Harian “Fajar Asia” terbit di Jakarta, dipimpin oleh Haji Agus Salim.
  • Majalah mingguan “Pikiran Rakyat” terbit di Bandung, didirikan oleh Ir. Soekarno.
  • Majalah berkala “Daulah Rakyat”, dipimpin oleh Moch Hatta dan Sultan Syahrir.
Karena sifat dan isi pers pergerakan anti penjajahan, pers mendapatkan tekanan dari pemerintahan Hindia Belanda. Salah satu cara pemerintah Hindia Belanda saat itu adalah dengan memberikan hak kepada pemerintah untuk memberantas dan menutup usaha penerbitan tanggal 13 Desember 1937. (baca Pers Masa Orde Baru)
    1. Peranan Pers Dalam Pergerakan Nasional
Perkembangan pers berbahasa daerah atau melayu, yang dinilai oleh Douwes dekker dalam awal karangan ini menduduki tempat terpenting dari pers Eropa,dan terutama setelah berdirinya organisasi seperti boedi Oetomo, Sarekat Islam dan Indische Partij menimbulkan pemikiran di kalangan pemerintah Hindia Belanda untuk menetralisasi pengurus pers bumi putra itu.Jalan yang di tunjukkan Dr.Rinkes ialah dengan mendirikan surat kabar berbahasa Melayu oleh pemerintah sendiri serta memberikan bantuan kepada surat kabar yang di nilai lunak dalam pemberitaannya.
Berdirinya Boedi Oetomo di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908 dan persiapan-persiapan kongresnya yang pertama yang akan diadakan pada awal oktober tahun itu juga mendapat tempat dalam pers Belanda dan Melayu.Surat edarannya pun dimuat dalam surat kabar De Locomotief dan Bataviaasch Nieuwsblad, demikian juga dalam majalah Jong Indie. Memang sejak kelahirannya, organisasi pertama ini memperhatikan pentingnya penerbit dan surat kabar sebagai penyambung suara organisasi. Sesuai dengan sikap Boedi Oetomo pada awal pertumbuhannya sejak golongan tua menjadi pemimpin-pemimpinnya, maka surat kabar pun bercorak lunak, namun satu segi yang menarik ialah kesadaran redakturnya menulis dan memberitakan yang penting bagi kemajuan dan kesejahteraan. Pentingnya surat kabar berbahasa Melayu terbukti juga dari ikhtisar-ikhtisar yang muncul dalam majalah dan surat kabar Belanda, seperti Tropisch Nederland, Kolonial Tijdschrift dan Java Bode.
Semenjak berdirinya Sarekat Islam, nampak adanya pemberitaan baru surat kabar, diantaranya ada yang menonjol dan ada pula yang kurang berarti. juga beberapa terbit di luar pulau Jawa. Mula-mula Darmo Kondo merupakan surat kabar yang utama di Jawa, tetapi setelah berdirinya SI, di Surabaya terbit Oetoesan Hindia yang isinya lebih hidup dan condong ke kiri. Darmo Kondo sendiri tetap tenang dan kurang menunjukkan kepekaannya mengenai tanda-tanda zaman, meskipun lingkungan pembaca cukup besar. Darmo Kondo sebelum tahun 1910 dimiliki dan dicetak oleh seorang keturunan Cina, Tan Tjoe Kwan dan redaksi ada ditangan Tjnie Sianh Ling,yang diketahui mahir di dalam soal sastra Juwa. sejak itu dibeli oleh Boedi Oetomo cabang Surakarta dangan modal Rp.50.000,- .
Oetoesan Hindia lahir setelah SI mengadakan kongresnya yang pertama di Surabaya, 26 januari 1913 dibawah pimpipinan Dokroaminoto, Sosrobroto serta Tirtodanudjo. Tirtodanudjo merupakan penulis yang tajam menarik perhatian umum, demikian juga karangan seorang bernama Samsi dari Semarang. Kedua-duanya merupakan pemegang rekor delik pers dan seringkali berurusan dengan pihak pengadilan. Tjokroaminoto sendiri mengimbangi dengan tulisan-tulisan yang tinggi mutunya dengan nada yang tenang, juga bila dia menulis untuk menangkis serangan-serangan yang dutujukan kepadanya. Selama tiga belas tahun Oetoesan Hindia isinya mencerminkan dunia pergerakan, politik, ekonomi dan perburuhan, khusus yang dipimpin oleh Central Sarekat Islam.
Karangan para pemimpin Indonesia muncul dan mengisi suratkabar itu serta merupakan perjatian pembaca. Singkatan nama-nama mereka O.S.tj. (Oemar Said Tjokroaminoto), A.M. (Abdul Muis). H.A.S. (Haji Agus Salim),T.Mk. (Tjipto Mangunkusumo), A.P. (Alimin Prawirohardjo), A.H.W. (Wignjadisastra) dan Surjopranoto silih berganti mangisi suratkabar itu, yang pengaruhnya sering nampak disuratkabar yang terbit dikepulauan lain.
Namun kelamahan suratkabar bumiputra ialah kurangnya pemasang iklan, sehigga dengan uang langganan saja tidak cukup untuk dapat bertahan. Ditambah lagi banyak perkara SI mengurangi ketekunan pengurusnya untuk tetap memikirkan kelangsungan suratkabarnya, dan setelah djokroaminoto terkena perkara politik sehingga ia di jatuhi hukuman dan pemecahan di dalam tubuh SI sendiri tak terhindarkan lagi, maka Oetoesan Hindia tutup usia pada triwulan pertama tahun1923.
Suratkabar SI lainnya ialah Sinar Djawa di Semarang, Pantjaran Warta diketehui dan Saroetomo di Surakarta yang terakhir itu adalah suratkabar asli Sarekat Islam sejak kelahiran organisasi itu pada bulan Agustus 1912 mula-mula Saroetomo merupakan suratkabar yang kurang berarti, tetapi berangsur-angsur nampak pengaruh Oetoesan Hindia sehingga makin bermutu terutama dengan muncul mas Marco Dikromo, seorang berasal dari Bodjonegoro, yang waktu itu berumur 23 tahun, maka karangan-karangan mewakili gaya tulis tersendiri terkenal dalam hubungan ini ialah komentar mas Marco mengenai cara kerja Mindere Whevaarts Commissie (Komisi untuk meyelidiki sebab-sebab kemunduran rakyat Bumi Putra) sehingga menimbulkan heboh besar setelah tulisan-tulisannya mendapat halangan dari Saroetomo, terutama karena campur tangan pemerintah, maka ia mendirkan suratkabar sendiri bernama Doenia Bergerak.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masa pergerakan adalah masa bangsa Indonesia berada dalam detik-detik terakhir penjajah Belanda sampai saat masuknya Jepang menggantikan Belanda. Pers pada masa pergerakan tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan nasional bangsa Indonesia melawan penjajahan. Setelah muncul pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 mei 1980, surat kabar yang dikeluarkan orang Indonesia lebih banyak berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Surat kabar nasional menjadi semacam perlemen orang Indonesia yang terjajah. Pers menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.

3.2 Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.



DAFTAR ISI

Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung