Tuesday 25 October 2016

PERS MASA TIONGHOA





Disusun oleh :
RYAN EDI SAPUTRA

JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
RIAU

T.A 2012/2013

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur dengan tulus saya ucapkan kehadiran Allah SWT, karena berkat Taufik dan hidayahnya, makalah Sejarah Perkembangan Pers tentang Pers Tionghoa bisa hadir ditengah-tengah kita semua.
Namun demikian, disadari bahwa sungguhpun makalah ini telah mengalami revisi dan penambahan, didalamnya masih banyak kekurangan.
Kekurangan ini akan diupayakan untuk terus disempurnakan sesuai kemampuan penulis. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnakan buku ini akan disambut dengan senang hati.
Wassalamualaikum Wr. Wb.







 Pekanbaru, 5 April 2013


                         Penullis


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diawal sejarah tanah air, pers Tionghoa muncul atas dasar kesadaran akan nasionalisme di kalangan keturunan Tionghoa di Indonesia. Mereka awalnya membutuhkan tidak lebih dari sebuah terbitan yang dapat menjadi sarana iklan dagang. Menurut Leo Suryadinata, pakar yang mengkhususkan diri dengan penelitian seputar peranakan Tionghoa di Indonesia, pers Tionghoa diterbitkan oleh dan untuk kalangan terbatas saja pada awalnya. Kata Leo juga, pers mulai berubah setelah revolusi pecah, Dr. Sun Yat Sen membuat China berubah dari kekaisaran menjadi republik pada tahun 1911. Saat itu juga, pers terdorong mengalami perkembangan di bidang sosial, bahkan politik. Pers Tionghoa dengan bahasa Melayu ini juga lahir karena pengaruh munculnya kaum terdidik pada masa itu. Pers Melayu-Tionghoa, bersama pers bumiputra, merupakan bagian dari pergerakan nasional yang aktif berjuang menentang kolonialisme Belanda.
Salah satu yang paling historis serta dikenal hingga sekarang adalah surat kabar Sin Po, surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu yang mulai beredar sejak zaman Hindia-Belanda hingga tahun 1965. Pertama kali diterbitkan di Jakarta sebagai mingguan pada 1 Oktober 1910, Sin Po lantas beralih sebagai surat kabar harian dua tahun kemudian.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Pers Tionghoa
Pers Tionghoa dari awalnya adalah pers yang berusaha mengambil jarak dengan dunia politik. Keterlibatan politik dianggap pamali, memecah belah, betapa pun mereka sadar bahwa keterlibatan politik niscaya diperlukan untuk mengubah keadaan. Di lain pihak, pers pribumi kebanyakan menjadi bagian integral dari perjuangan politik melawan pemerintahan kolonial.
Orientasi pers Tionghoa lebih bersifat ke dalam dan eksklusif. Kepedulian terbesar mereka adalah pada problematika kultural masyarakat Tionghoa sendiri meskipun mereka sadar menjadi bagian dari satuan masyarakat yang lebih besar. Perilaku pers Tionghoa merefleksikan kultur Tionghoa sebagai sebuah kelompok. Siauw Tiong Djin pernah menjelaskan orang Tionghoa di Indonesia notabene kurang bersedia mengorbankan waktu dan jiwanya untuk pekerjaan politik, apalagi kalau garis politik yang dipilih membahayakan keselamatannya. Djin mencontohkan apa yang dialami Siauw Giok Tjhan, tokoh politik peranakan Tionghoa yang sempat dipenjara rezim Orde Baru. Sebagian besar warga Tionghoa menganggap sikap politik Siauw yang mendukung garis Indonesia merdeka pada akhir dekade tahun 1930-an sebagai sikap yang "Ong Hiam", berbahaya. (Ibid., hlm 58)
Senada dengan Djin, Onghokham menegaskan sikap khas orang Indonesia-Tionghoa adalah individualis dan netral. Profesi sebagai usahawan mencetak mereka menjadi individu yang individualis. Keterlibatan unsur Tionghoa di bidang politik, budaya, dan sosial juga bersifat individualis. Onghokham menyebut sejumlah figur Tionghoa yang eksis di dunia politik seperti Liem Koen Hian, Siauw Giok Tjhan, Junus Jahya, Yusuf Wanandi, Soe Hoek Gie, dan Arief Budiman.
Namun, sebagai kelompok, golongan Indonesia-Tionghoa tetap bernasib lain. Mereka tetap menunjukkan sikap netral dan pasif. Suatu sikap yang menurut Onghokham agak sukar dan bisa menjadi sumber masalah dalam suasana revolusi, seperti yang dialami masyarakat Tionghoa pada pergantian kekuasaan tahun 1965-1966. (Onghokham, "Etnik Cina dalam Masa Reformasi", Kompas, 13 Agustus 1999).
Pers Tionghoa pasca-Orde Baru menunjukkan kontinuitas kultur politik pers Tionghoa era kolonial. Pers yang tidak begitu hirau terhadap urusan politik sebagai upaya untuk menghindari bentuk-bentuk keterlibatan politik. Pers yang menganggap sikap konfrontatif secara politik sebagai sikap yang kontraproduktif dan dapat membahayakan eksistensi masyarakat Tionghoa. Belum banyak terjadi perubahan dalam kultur politik pers Tionghoa hingga kini.
Barangkali karena selama Orde Lama dan Orde Baru praktis tidak ada kesempatan bagi etnis Tionghoa untuk menata diri. Politik diskriminasi masih terus berlangsung, bahkan kian lama kian memburuk. Demikian juga dengan kerusuhan rasial anti-Cina yang menimbulkan nestapa yang tak terperikan. Pendek kata, etnis Tionghoa tetap hidup dalam ketertindasan politik dan kultural, kecuali segelintir cukong kaya yang menjadi partner setia para pemegang kekuasaan.
Editorial Mandarin Pos edisi 14-28 Februari 2001 meneguhkan kesimpulan itu. Dalam editorial berjudul "Alvin Lie Tidak Wakili Aspirasi Etnis Tionghoa" itu, Mandarin Pos menegaskan pernyataan-pernyataan Lie yang keras dan konfrontatif terhadap lawan politiknya dapat memicu gerakan-gerakan anti-Cina yang destruktif. Khawatir terhadap dampak garis politik Lie, Mandarin Pos menyampaikan pesan politik kepada masyarakat bahwa Lie bukan representasi dari masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Pengalaman majalah Suara Baru adalah fakta yang lain. Dibandingkan dengan media massa pada umumnya, pemberitaan Suara Baru sebenarnya tetap lebih lunak. Meskipun demikian, berita- berita politik Suara Baru sempat memicu keberatan dari kalangan Tionghoa yang menjadi pembacanya. Mereka khawatir sikap "frontal" Suara Baru pada beberapa kasus dapat memancing reaksi-reaksi negatif tertentu. Trauma gerakan-gerakan anti-Cina tampaknya masih membayangi pembaca Suara Baru.
Mereka merasa lebih nyaman jika Suara Baru mengangkat masalah-masalah budaya dan tidak ikut-ikutan berbicara soal politik. Kecemasan ini tampaknya menjadi perhatian redaksi Suara Baru. Belakangan, mereka tetap menyajikan berita-berita politik aktual, namun dengan nada pemberitaan yang semakin diperhalus.(suarationghoaindonesia) Agus Sudibyo, Peneliti pada Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta.


2.2 Perkembangan Pers Tionghoa
Munculnya pers Tionghoa di Jawa pada awal abad ke-20 bisa dibedakan dalam dua kelompok; yakni pers berbahasa asli Tiongkok dan pers berbahasa Melayu. Pers berbahasa Tiongkok dikelola oleh kalangan Singkek atau yang dikenal dengan sebutan China totok. Sedang pers berbahasa Melayu dikelola kalangan Tionghoa peranakan. Seperti apakah kiprah mereka dalam mendorong perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah?
Menurut catatan Abdul Wakhid (Lembaran Sejarah, 1999), awal kemunculan industri pers milik kalangan China totok yang berbahasa asli dari Tiongkok berkaitan erat dengan Soe Po Sia yaitu suatu organisasi perkumpulan pers revolusioner Tiongkok yang berhubungan langsung dengan Dr Sun Yat Sen atau Siang Hwee, organisasi kamar dagang yang didominasi kalangan China totok. Namun jumlah pers yang berbahasa asli Tiongkok terbilang terbatas. Antara lain adalah Huauo Bao (Jakarta), Zhaowa Gong Bao (Semarang), dan Hanwen Xinbao (Surabaya). Sementara pers milik Tionghoa peranakan muncul setelah timbulnya gerakan Pan-China di Jawa akibat pengaruh propaganda nasionalisme Dr Sun Yat Sen di China daratan.
Namun pers milik Tionghoa peranakan tetap memakai bahasa Melayu. Sebab, mereka sudah banyak yang tak paham lagi dengan bahasa asli Tiongkok. Kebiasaan mereka juga sudah berbeda karena banyak yang menyerap dan terserap dalam budaya local pribumi.
Surat kabar milik Tionghoa pernakan yang pertama terbit adalah Li Po. Surat kabar yang dicetak di Sukabumi, Jawa Barat, itu menyebarkan ajaran Konghucu dan berkaitan dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yaitu organisasi Pan-China pertama di Jakarta pada tahun 1900. Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po (Jakarta-1910).
Dekade 1920-an, kalangan Tionghoa peranakan menerbitkan sejumlah suratkabar lagi. Antara lain Bing Seng (Jakarta-1922), Keng Po (Jakarta-1923), Sin Jit Po (Surabaya-1924), Soeara Publiek (Surabaya-1925), dan Sin Bin (Bandung-1925). Pada dekade 1930-an, surat kabar Tionghoa peranakan makin bertambah banyak akibat pengaruh perang anti-Jepang. Namun surat kabar Tionghoa peranakan tidak semuanya anti-Jepang, seperti yang ditunjukkan Mata Hari (Semarang) dan Hong Po (Jakarta).

Dari segi redaksional, susunan staf surat kabar Tionghoa peranankan semula menggunakan tenaga dari Indo – Eropa, seperti yang dilakukan Chabar Perniagaan dan Sin Po pada awal terbitnya. Dalam perkembangannya, surat kabar Tionghoa peranankan bisa mandiri. Bahkan, ada yang memberikan kesempatan kepada orang-orang bumiputra (pribumi) sebagai jurnalis atau pengelola. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola Keng Po, Siang Po, Sin Po, Pewarta Soersbsis, Mata Hari, dan Sin Tit Po.
Namun, jika dilihat dari spectrum politis yang dipantulkan dari surat kabar Tionghoa, setidaknya bisa dibagi dalam tiga aliran ; yakni Kelompok Sin Po, Kelompok Chung Hwa Hui, dan Kelompok Indonesier (orang Indonesia). Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara Kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang Kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya, tapi secara politik ingin berasimilasi dengan masyarakat local dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
2.3 Publikasi Indonesia Raya pun Lewat Sin Po
Ketika kalangan intelektual bumiputra (pribumi) masih kesulitan mengelola pers secara mandiri, surat kabar milik Tionghoa awal abad ke-20 menjadi salah satu sumber dan media penting untuk mendorong pergerakan nasional Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Sikap Belanda terhadap pers milik yang dikelola kalangan Tionghoa awal abad ke-20 lalu cenderung lunak dan bisa dikatakan tidak mendapat represif yakni berupa pembredelan atau penangkapan seperti yang dialami jurnalis pribumi. Sebab, pers Tionghoa dianggap netral. Sikap lunak Belanda ini mungkin tak lepas dari kepentingan Belanda kala itu yang ingin memanfaatkan kaum Tionghoa sebagai alat politik dan ekonomi.
Namun kalau akhirnya ada Tionghoa peranakan yang memiliki benih-benih rasa anti-Belanda seperti yang ditunjukkan Tionghoa Indonesier, hal itu juga bukan suatu keanehan. Sebab, sepak terjang orang Belanda terhadap orang Tionghoa juga berubah-ubah dan diskrimininatif. Bahkan, di Batavia pernah terjadi pembantaian massal terhadap kaum Tionghoa yang menelan korban sekitar 10 ribu jiwa.
Adalah surat kabar Sin Tit Po sebagai wakil pers Tionghoa peranakan yang bersedia menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Pengelola surat kabar — yang juga menjadi corong setengah resmi Partai Tionghoa Indonesia (PTI) ini menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan. Mereka juga merasa, nasibnya telah terikat dengan nasib orang Indonesia pribumi. Tak aneh jika Sin Tit Po ikut menyebarkan ide-ide nasionalisme Indonesia.
Lantas bagaimana dengan surat kabar Tionghoa yang pro-nasionalisme Tiongkok? Menurut Abdul Wakhid, meskipun surat kabar Sin Po berhaluan ke nasionalisme Tiongkok, bukan berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Apalagi, kelompok Sin Po juga menolak kewarganegaraan Belanda. Mereka tetap menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Pemberitaann Sin Po tidak mengabaikan peristiwa-peristiwa penting di Indonesia hingga bisa memberikan kesadaran dan inspirasi bagi perjuangan. Dalam beberepa periode, Sin Po banyak memakai wartawan bumiputra dan banyak memuat berita pergerakan. WR Supratman juga tercatat sebagai wartawan Sin Po. Melalui Sin Po juga lagu Indonesia Raya gubahan WR Supratman yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia pertama kali dipublikasikan. Sementara Ir Soekarno juga dikenal dekat dengan Sin Po.
Pendek kata, hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.

3.2 Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi lebih berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.



DAFTAR ISI


Sa’id,Tribuana.1988,Sejarah Pers Nasional, Jakarta : CV Haji Masagung

0 komentar:

Post a Comment